Pengertian Puasa
Puasa dalam bahasa arab adalah shaum dan jama`nya adalah shiam. Secara ilmu bahasa, shaum itu berarti al-imsak yang berarti ‘menahan’. Sedangkan menurut istilah syariah, shaum itu berarti : Menahan diri dari makan, minum, hubungan seksual dan hal-hal lain yang membatalkannya sejak subuh hingga terbenam matahari dengan niat ibadah.
Syariat Puasa
Puasa Ramadhan pertama kali disyariatkan adalah pada tanggal 10 Sya`ban di tahun kedua setelah hijrah Nabi SAW ke Madinah. Sesudah diturunkannya perintah penggantian kiblat dari masjidil Al-Aqsha ke Masjid Al-Haram. Semenjak itulah Rasulullah SAW menjalankan puasa Ramadhan hingga akhir hayatnya sebanyak sembilan kali dalam sembilan tahun.
Puasa Ramadhan adalah bagian dari rukun Islam yang lima, Oleh karena itu mengingkari kewajiban puasa Ramadhan termasuk mengingkari rukun Islam. Dan pengingkaran atas salah satu rukun Islam akan mengakibatkan batalnya ke-Islaman seseorang.
Sesungguhnya kewajiban puasa bukan saja kepada umat Nabi Muhammad SAW, tetapi umat terdahulu pun telah mendapatkan perintah untuk puasa. Meskipun demikian, bentuk dan tatacaranya sedikit berbeda dengan yang diberlakukan oleh Rasulullah SAW.
Paling tidak kita mengenal bentuk puasa nabi Daud, yaitu sehari berpuasa dan sehari tidak. Itu dilakukan sepanjang hayat hingga wafat. Kita juga mengenal bentuk puasa di zaman Nabi Zakaria, dimana puasa itu bukan hanya menahan lapar dan haus, tetapi juga tidak boleh berbicara.
Sedangkan kewajiban puasa Ramadhan didasari olel Al-Quran, As-Sunah dan Ijma`.
1. Al-Quran.
Allah telah mewajibkan umat Islam untuk berpuasa bulan Ramadhan dalam Al-Quran Al-Kariem.
Wahai orang yang beriman, diwajibkan kepadamu berpuasa sebagaiman telah diwajibkan kepada umat sebelummu agar kamu bertaqwa. (QS Al-Baqarah : 183)
2. As-Sunnah
Hadits Nabi SAW :
Islam dibangun atas lima, syahadat bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah,
menegakkan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji ke baitullah bila mampu. (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits Nabi SAW :
Dari Thalhah bin Ubaid ra bahwa seseorang datang kepada Nabi SAW dan bertanya,” Ya Rasulullah SAW, katakan padaku apa yang Allah wajibkan kepadaku tentang puasa ?” Beliau menjawab,”Puasa Ramadhan”. “Apakah ada lagi selain itu ?”. Beliau menjawab, “Tidak, kecuali puasa sunnah”.(HR. )
3. Al-Ijma`
Secara ijma` seluruh umat Islam sepanjang zaman telah sepakat atas kewajiban puasa Ramadhan bagi tiapmuslim
yang memenuhi syarat wajib puasa.
Penentuan Awal Ramadhan
Untuk menentukan awal Ramadhan, ada dua cara yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW yaitu :
1. Dengan melihat bulan (ru`yatul hilal).
Yaitu dengan cara memperhatikan terbitnya bulan di hari ke 29 bulan Sya`ban. Pada sore hari saat matahari terbenam di ufuk barat. Apabila saat itu nampak bulan sabit meski sangat kecil dan hanya dalam waktu yang singkat, maka ditetapkan bahwa mulai malam itu, umat Islam sudah memasuki tanggal 1 bulan Ramadhan. Jadi bulan Sya`ban umurnya hanya 29 hari bukan 30 hari. Maka ditetapkan untuk melakukan ibadah Ramadhan seperti shalat tarawih, makan sahur dan mulai berpuasa.
2. (Ikmal) Menggenapkan umur bulan Sya`ban menjadi 30 hari Tetapi bila bulan sabit awal Ramadhan sama sekali tidak terlihat, maka umur bulan Sya`ban ditetapkan menjadi 30 hari (ikmal) dan puasa Ramadhan baru dilaksanakan lusanya.
Perintah untuk melakukan ru`yatul hilal dan ikmal ini didasari atas perintah Rasulullah SAW dalam hadits riwayat Abu Hurairah ra. : Puasalah dengan melihat bulan dan berfithr (berlebaran) dengan melihat bulan, bila tidak nampak olehmu, maka sempurnakan hitungan Sya`ban menjadi 30 hari.(HR. Bukhari dan Muslim).
Sedangkan metode penghitungan berdasarkan ilmu hisab dalam menentukan awal Ramadhan tidak termasyuk cara yang masyru` karena tidak ada dalil serta isyarat dari Rasulullah SAW untuk menggunakannya. Ini berbeda dengan penentuan waktu shalat dimana Rasulullah SAW tidak memberi perintah secara khusus untuk melihat bayangan matahari atau terbenamnya atau terbitnya atau ada tidaknya mega merah dan seterusnya. Karena tidak ada perintah khusus untuk melakukan rukyat, sehingga penggunaan hisab khusus untuk menetapkan waktu-waktu shalat tidak terlarang dan bisa dibenarkan.
Ikhtilaful Matholi`
Ada perbedaan pendapat tentang ru`yatul hilal, yaitu apakah bila ada orang yang melihat bulan, maka seluruh dunia wajib mengikutinya atau tidak ? Atau hanya berlaku bagi negeri dimana dia tinggal ? Dalam hal ini para ulama memang berbeda pendapat :
1 Pendapat pertama adalah pendapat jumhur ulama Mereka (jumhur) menetapkan bahwa bila ada satu orang saja yang melihat bulan, maka semua wilayah negeri Islam di dunia ini wajib mengikutinya. Hal ini berdasarkan prinsip wihdatul matholi`, yaitu bahwa mathla` (tempat terbitnya bulan) itu merupakan satu kesatuan di seluruh dunia. Jadi bila ada satu tempat yang melihat bulan, maka seluruh dunia wajib mengikutinya. Pendapat ini didukung oleh Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal.
2 Pendapat Kedua adalah pendapat Imam Syafi`i RA. Beliau berpendapat bahwa bila ada seorang melihat bulan, maka hukumnya hanya mengikat pada negeri yang dekat saja, sedangkan negeri yang jauh memeliki hukum sendiri. Ini didasarkan pada prinsip ihktilaful matholi` atau beragamnya tempat terbitnya bulan. Ukuran jauh dekatnya adalah 24 farsakh atau 133,057 km. Jadi hukumnya hanya mengikat pada wilayah sekitar jarak itu. Sedangkan diluar jarak tersebut, tidak terikat hukum ruk`yatul hilal. Dasar pendapat ini adalah hadits Kuraib dan hadits Umar, juga qiyas perbedaan waktu shalat pada tiap wilayah dan juga pendekatan logika.
Syarat Puasa
Syarat puasa terbagi menjadi dua macam. Pertama adalah syarat wajib puasa, dimana bila syarat-syarat ini terpenuhi, seeorang menjadi wajib hukumnya untuk berpuasa. Kedua adalah syarat syah puasa, dimana seseorang syah puasanya bila memenuhi syarat-syarat itu.
1. Syarat Wajib
Syarat wajib maksudnya adalah hal-hal yang membuat seorang menjadi wajib untuk melakukan puasa. Bila salah satu syarat ini tidak terpenuhi pada diri seseorang, maka puasa Ramadhan itu menjadi tidak wajib atas dirinya. Meski kalau dia mau, dia tetap diperbolehkan untuk berpuasa.
Diantara syarat-syarat yang mewajibkan seseorang harus berpuasa antara lain yaitu :
a. Baligh
Anak kecil yang belum baligh tidak wajib puasa. Namun orang tuanya wajib emerintahkannya puasa ketika berusia 7 tahun dan bila sampai 10 tahun boleh dipukul. Persis seperti pada masalah shalat.
Rasulullah SAW bersabda :
Dari Ibnu Amr bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Perintahkan anak-anak kamu untuk mengerjakan shalat ketika berusia 7 tahun dan pukullah mereka karena tidak menegakkan shalat ketika berusia 10 tahun. (HR. Abu Daud dan Hakim dan dishahihkan dalam Al-Jamius Shaghir).
Meski demikian, secara hukum anak-anak termasuk yang belum mendapat beban / taklif untuk mengerjakan puasa Ramadhan, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits :
Telah diangkat pena dari tiga orang : Dari orang gila hingga waras, dari orang yang tidur hingga terjaga dan dari anak kecil hingga mimpi. (HR. Ahmad, Abu Daud dan Tirmizy).
b. Berakal
Orang gila tidak wajib puasa bahkan tidak perlu menggantinya atau tidak perlu mengqadha`nya. Kecuali bila melakukan sesuatu secara sengaja yang mengantarkannya kepada kegilaan, maka wajib puasa atau wajib menggantinya. Hal yang sama berlaku pada orang yang mabuk, bila mabuknya disengaja. Tapi bila mabuknya tidak disengaja, maka tidak wajib atasnya puasa.
c. Sehat
Orang yang sedang sakit tidak wajib melaksanakan puasa Ramadhan. Namun dia wajib menggantinya di hari lain ketika nanti kesehatannya telah pulih.
Allah SWT berfirman :
…Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan, maka (wajib menggantinya) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu…(QS. Al-Baqarah : 185).
Jenis penyakit yang membolehkan seseorang tidak menjalankan kewajiban puasa Ramadhan adalah penyakit yang akan bertambah parah bila berpuasa. Atau ditakutkan penyakitnya akan terlambat untuk sembuh.
d. Mampu
Allah hanya mewajibkan puasa Ramadhan kepada orang yang memang masih mampu untuk melakukannya. Sedangkan orang yang sangat lemah atau sudah jompo dimana secara pisik memang tidak mungkin lagi melakukan puasa, maka mereka tidak diwajibkan puasa.
Allah SWT berfirman :
Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin…(QS. Al-Baqarah : 184)
e. Tidak dalam perjalanan (bukan musafir)
Orang yang dalam perjalanan tidak wajib puasa. Tapi wajib atasnya mengqadha` puasanya.
Dalam hadits Rasulullam SAW disebutkan :
Bahwa Hamzah Al-Aslami berkata,”Ya Rasulallah, Aku kuat tetap berpuasa dalam perjalanan, apakah aku berdosa ?”. Rasulullah SAW menjawab,”Itu adalah keringanan dari Allah Ta`ala, siapa yang berbuka maka baik. Dan siapa yang lebih suka berpuasa maka tidak ada dosa”. (HR. Muslim)
2. Syarat Syah
Sedangkan syarat syah adalah syarat yang harus dipenuhi agar puasa yang dilakukan oleh seseorang itu menjadi syah hukumnya di hapadan Allah SWT.
a. Niat
Bila seseorang berpuasa tapi lupa atau tidak berniat, maka puasanya tidak syah. Maksudnya puasa wajib bulan Ramadhan atau puasa wajib nazar atau puasa wajib qadha`. Namun bila puasa sunnah, maka niatnya tidak harus sejak terbit fajar, boleh dilakukan di siang hari ketika tidak mendapatkan makanan.
b. Beragama Islam
Puasa orang bukan muslim baik kristen, katolik, hindu, budha atau agama apapun termasuk atheis tidak syah. Bila mereka tetap berpuasa, maka tidak mendapatkan balasan apa-apa.
c.Suci dan haidh dan nifas
Wanita yang mendapat haidh dan nifas, bila tetap berpuasa, maka puasanya tidak syah.
d. Pada hari yang dibolehkan puasa
Bila melakukan puasa pada hari-hari yang dilarang, maka puasanya tidak syah bahkan haram untuk dilakukan. Diantara hari-hari yang secara khusus dilarang untuk berpuasa adalah :
1. Hari Raya Idul Fithri 1 Syawwal.
2. Hari Raya Idul Adha tanggal 10 ZulHijjah.
3. Hari Tasyrik yaitu tanggal 11, 12 dan 13 bulan Zulhijjah
4. Puasa sehari saja pada hari Jumat, tanpa didahului dengan hari sebelum atau sesudahnya.
Kecuali ada kaitannya dengan puasa sunnah lainnya seperti puasa sunah nabi Daud, yaitu sehari berpuasa dan sehari tidak. Maka bila jatuh hari Jumat giliran untuk puasa, boleh berpuasa.
5. Puasa sunnah pada paruh kedua bulan Sya`ban, yaitu mulai tanggal 15 Sya`ban hingga akhir. Namun bila puasa bulan Sya`ban sebulan penuh, justru merupakan sunnah. Sedangkan puasa wajib seperti qadha` puasa Ramadhan wajib dilakukan bila memang hanya tersisa hari-hari itu saja.
6. Puasa pada hari Syak, yaitu tanggal 30 Sya`ban bila orang-orang ragu tentang awal bulan Ramadhan karena hilal (bulan) tidak terlihat.
Rukun Puasa
Puasa itu mempunyai dua rukun yang menjadi inti dari ibadah tersebut. Tanpa kedua hal itu, maka puasa menjadi tidak berarti.
1. Niat
Niat adalah azam (berketatapan) di dalam hati untuk mengerjakan puasa sebagai bentuk pelaksanaan perintah Allah SWT dan taqarrub (pendekatan diri) kepada-Nya. Sabda Rasulullah SAW : Sesungguhnya semua amal itu tergantung niatnya. Kedudukan niat ini menjadi sangat penting untuk puasa wajib. Karena harus sudah diniatkan sebelum terbit
fajar. Dan puasa wajib itu tidak syah bila tidak berniat sebelum waktu fajar itu.
Sabda Rasulullah SAW :
Barang siapa yang tidak berniat pada malamnya, maka tidak ada puasa untuknya. (HR. Tirmizy)
Berbeda dengan puasa sunnah yang tidak mensyaratkan niat sebelum terbit fajar. Jadi boleh berniat puasa meski telah siang hari asal belum makan, minum atau mengerjakan sesuatu yang membatalkan puasa. Hal tersebut sesuai dengan apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW.
Dari Aisyah RA. Berkata, Rasulullah SAW datang kepadaku pada suatu hari dan bertanya, “Apakah kamu punya makanan ?”. Aku menjawab,”Tidak”. Beliau lalu berkata,”Kalau begitu aku berpuasa”. (HR. Muslim).
2. Imsak (menahan)
Imsak artinya menahan dari makan, minum, hubungan seksual suami istri dan semua hal yang membatalkan puasa, dari sejak fajar hingga terbenamnya matahari.
Allah SWT berfirman :
…Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam…(QS. Al-Baqarah : 187)
Yang dimaksud dengan benang putih dan benang hitam adalah putihnya siang dan hitamnya malam.
Yang Membatalkan Puasa
1. Makan minum secara sengaja Bila makan dan minum secara sengaja, maka batallah puasanya. Tetapi bila makan dan minum karena lupa, maka tidak membatalkan puasa, asal ketika ingat segera berhenti dari makan dan minum.Termasuk yangmembatalkan puasa adalah makan atau minum dengan menyangka bahwa belum terbit fajar, padahal sudah terbit, maka batallah puasanya. Dan makan atau minum dengan menyangka sudah masuk waktu berbuka, padahal ternyata belum, maka puasanya pun batal. Termasuk batal juga bila makan atau minum karena lupa tetapi begitu ingat, tidak berhenti dari makan atau minum. Apabila seseorang memasukkan benda ke dalam tubuhnya melalui lubang seperti hidung, mulut, mata, telinga secara sengaja, maka batal pula puasanya.
Sabda Rasulullah SAW
Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Siapa lupa ketika puasa lalu dia makan atau minum, maka teruskan saja puasanya. Karena sesungguhnya Allah telah memberinya makan dan minum.(HR. Jamaah)
Sabda Rasulullah SAW
Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Siapa yang berbuka pada saat Ramadhan karean lupa, tidak ada keharusan mengqadha` atau membayar kafarah. (HR. Muslim).
2. Hubungan seksual
Hubungan seksual suami istri membatalkan puasa. Dan bila dikerjakan pada saat puasa Ramadhan, maka selain membayar qadha` juga diwajibkan membayar kaffarah. Karena hubungan seksual di siang hari bulan Ramadhan termasuk perbuatan yang merusak kesucian Ramadhan itu. Padahal kita diperintahkan pada saat-saat itu untuk menahan segala nafsu dan dorongan syahwat dengan tidak makan, tidak minum dan tidak melakukan hal-hal yang keji dan mungkar. Tetapi justru pada saat yang semulia itu malah melakukan
hubungan seksual di siang hari. Karena itu hukumannya tidak hanya mengganti / mengqadha` puasa di hari lain, tetapi harus membayuar denda / kaffarah sebagai hukuman dari merusak kesucian bulan Ramadhan. Bentuk kaffarah itu salah satu dari tiga hal :
a. Memerdekakan budak
b. Puasa 2 bulan berturut-turut
c. Memberi makan 60 orang miskin.
3. Sengaja muntah
Istiqa` atau muntah adalah bila seseorang melakukan sesuatu yang mengakibatkan muntah, maka puasanya batal. Seperti memasukkan jari ke dalam mulut tidak karena kepentingan. Atau membuang lendir dari tenggorokan tetapi malah mengakibatkan muntah. Dan semua pekerjaan lainnya yang pada dasrnya tidak perlu dilakukan tetapi malah mengakibatkan muntah. Semua itu dapat membatalkan puasa karena itu harus dihindari agar tidak melakukannya saat berpuasa. Namun bila muntah karena sebab yang tidak bisa
ditolak seperti karena masuk angin atau sakit lainnya, maka puasanya tetap syah. Sabda Rasulullah SAW, Siapa yang menyngaja muntah, wajiblah mengganti (mengqadha`) puasanya.
4. Hilang / berubah niatnya
Ketika seseorang dalam keadaan puasa, lalu terbetik dalam hatinya niat untuk berbuka saat itu juga sehingga niat puasanya menjadi hilang atau berubah, maka puasanya telah batal. Meskipun saat itu dia belum lagi makan atau minum. Karena niat merupakan rukun puasa. Bila niat itu hilang, maka hilang pula puasanya. Karena itu niat harus terpasang terus ketika berpuasa dan tidak boleh berubah. Niat itu adalah azam atau tekad. Tekad itu harus ada terus selama menjalankan ibadah puasa. Hilangnya tekan maka hilang pula nilai ibadahnya.
5. Murtad
Seseorang yang sedang berpuasa, lalu keluar dari agama Islam / murtad, maka otomatis puasanya batal. Dan bila hari itu juga dia kembali lagi masuk Islam, puasanya sudah batal. Dia wajib mengqadha puasanya hari itu meski belum sempat makan atau minum.
Fiman Allah SWT,
Bila kamu menyekutukan Allah (murtad), maka Allah akan menghapus amal-amalmu dan kamu pasti jadi orang yang rugi. (QS Az-Zumar )
6. Keluarnya mani secara sengaja
Melakukan segala sesuatu yang dapat merangsang birahi hingga sampai keluar air mani menyebabkan puasa menjadi batal. Seperti melakukan onani/masturbasi, atau melihat gambar porno baik media cetak maupun film dan internet. Bahkan bila seseorang dalam keadaan puasa lalu berfantasi dan berimajinasi seksual yang mengakibatkan keluarnya mani, maka puasanya batal dengan sendirinya. Termasuk bercumbu antara suami istri yang mengakibatkan keluarnya mani meski tidak melakukan hubungan seksual, maka puasanya batal meski tidak sampai wajib membayar kaffarah. Karena itu sebaiknya hindari semua hal yang merangsang birahi karena beresiko batalnya puasa. Tetapi bila keluar mani dengan sendirinya seperti bermimpi, maka puasanya tidak batal, karena bukan disengaja atau bukan kehendaknya.
Sabda Rasulullah SAW,
Telah diangkat pena dari tiga orang ; orang gila hingga waras, orangtidur hingga bangun dan anak kecil hingga baligh.
7. Mendapat Haidh atau Nifas
Wanita yang sedang berpuasa lalu tiba-tiba mendapat haidh, maka otomatis puasanya batal. Meski kejadian itu menjelang terbenamnya matahari. Begitu juga wanita yang mendapat darah nifas, maka puasanya batal. Ini adalah merupakan ijma` para ulama Islam atas masalah wanita yang mendapat haidh atau nifas saat sedang berpuasa.
Yang Tidak Membatalkan Puasa
1. Makan dan minum karena lupa
Seseorang yang karena lupa tidak sengaja makan dan minum pada saat puasa, maka ketika dia ingat, wajib menghentikan makan dan minumnya itu. Apa yang telah dimakannya itu tidak membatalkan puasanya meski cukup banyak dan lumayan kenyang.
Sabda Rasulullah SAW :
Telah diangkat pena dari umat atas apa yang mereka lupa, anak anak dan orang yang dipaksa.
Sabda Rasulullah SAW :
Dari Abi Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Siapa yang berpuasa lalu makan dan minum karena lupa, maka teruskan puasanya. Sesungguhnya Allah telah memberinya makan dan minum.” HR Jamaah.
Namun wajib yang melihat untuk mengingatkan orang yang makan ketika berpuasa karena lupa.
2. Keluar mani dengan sendirinya
Bila pada saat puasa seseorang tidur dan dalam tidurnya itu dia bermimpi yang mengakibatkan keluarnya mani, maka hal itu tidak membatalkan puasanya. Namun bila secara sengaja melakukan hal-hal yang dapat membangkitkan birahi baik melalui fikiran (imaginasi) atau melihat atau mendengarkan hal-hal yang merangsang birahinya hingga mengakibatkan keluarnya mani, maka hal itu membatalkan puasa. Karena semua itu termasuk dalam kategori sengaja. Termasuk bila melalukan onani pada saat puasa.
3. Memakai celak mata
Boleh memakai celak mata (alkuhl) pada saat berpuasa dan tidak membatalkannya. Karena Rasulullah SAW juga pernah menggunakannya pada saat berpuasa.
4. Berbekam
Berbekam atau hijamah adalah salah satu bentuk pengobatan dimana seseorang diambil darahnya untuk dikeluarkan penyakit. Metode ini dikenal di negerio Arab dan beberapa negeri lainnya.
Dari Ibni Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW pernah berbekam dalam keadaan ihram dan pernahpula berbekam dalam keadaan puasa.(HR. Bukhari dan Ahmad)
5. Bersiwak
Bersiwak atau membersihkan gigi tidak membatalkan puasa. Namun menurut Imam Asy-Syafi`i, bersiwak hukumnya makruh bila telah melwati waktu zhuhur hingga sore hari. Alasan yang dikemukakan beliau adalah hadits Nabi yang menyebutkan : Bau mulut orang yang puasa lebih harum di sisi Allah dari aroma kesturi. Sedangkan bersiwak atau menggosok gigi akan menghilangkan bau mulut. Namun bila bau mulut mengganggu seperti habis makan makanan berbau, maka sebaiknya bersiwak.
6. Kumur dan istinsyak
Kumur adalah memasukkan air ke dalam mulut untuk dibuang kembali. Sedangkan istinsyak adalah memasukkan air ke dalam lubang hidung untuk dibuang kembali. Keduanya boleh dilakukan saat puasa meski bukan untuk keperluan berwudhu`. Namun harus dijaga jangan sampai tertelan atau masuk ke dalam tubuh, karena akan membatalkan puasa.
7. Mandi dan berenang
Mandi, beranang atau memakai pakaian yang dibasahi agar dingin tidak membatalkan puasa. Begitu juga mengorek kuping atau memasukkan batang pembersih ke dalam telinga. Semua itu tida termasuk yang membalakan puasa.
8. Kemasukan asap atau debu
Kemasukan asap dan debu, kemasukan lalat atau sisa rasa obat ke dalam mulut tidak membatalkan puasa, asal sifatnya tidak disengaja dan bukan bikinan. Semua itu tidak membatalkan puasa karena tidak mungkin menghindar dari hal-hal kebetulan seperti itu.
9. Copot gigi, telinga kemasukan air Orang yang copot giginya tanpa sengaja dan kemasukan air di telinga tidak batal puasanya.
10. Janabah dan bercumbu
Jatuhnya seseorangkepada kondisi janabah tidak membatalkan puasanya, kecuali bila sengaja. Karena itu bila mimpi basah di siang hari bulan ramadhan dan tetap dalam keadaan junub hingga siang hari, tidak membatalkan puasa. Bercumbu dengan istri tidak membatalkan puasa selama tidak sampai keluar mani. Begitu juga menciumnya atau memeluknya tidak membatalkan puasa.
11. Suntik
Dalam kondisi sakit, terkadang pasien harus disuntik dengan obat, maka suntikan obat itu tidak membatalkan puasa. Berbeda dengan impus, maka impus membatalkan puasa, karena hakikat impus adalah memasukkan makanan ke dalam tubuh.
12. Menghirup aroma wangi
Boleh menghiurp atau mencium aroma wangi dari parfum atau wangi-wangian dan tidak membatalkan puasa.
Hal-hal yang membolehkan berbuka
Dalam keadaan tertentu, syariah membolehkan seseorang tidak berpuasa. Hal ini adalah bentuk keringanan yang Allah berikan kepada umat Muhammad SAW. Bila salah satu dari keadaan tertentu itu terjadi, maka bolehlah seseorang meninggalkan kewajiban puasa.
1. Safar (perjalanan).
Seorang yang sedang dalam perjalanan, dibolehkan untuk tidak berpuasa. Keringanan ini didasari oleh Firman Allah SWT : Dan siapa yang dalam keadaan sakit atau dalam perjalanan maka menggantinya di hari lain (QS Al-Baqarah : )
Sedangkan batasan jarak minimal untuk safar yang dibolehkan berbuka adalah jarak dibolehkannya qashar dalam shalat, yaitu 47 mil atau 89 km. Sebagian ulama mensyaratkan bahwa perjalanan itu telah dimulai sebelum mulai berpuasa (waktu shubuh). Jadi bila melakukan perjalanan mulai lepas Maghrib hingga keesokan harinya, bolehlah dia tidak puasa pada esok harinya itu. Namun ketentuan ini tidak secara ijma` disepakati, karena ada sebagian pendapat lainnya yang tidak mensyaratkan jarak sejauh itu untuk membolehkan berbuka. Misalnya Abu Hanifah yang mengatakan bahwa jaraknya selama perjalanan tiga hari tiga malam. Sebagian mengatakan jarak perjhalan dua hari. Bahkan ada yang juga mengatakan tidak perlu jarak minimal seperti apa yang dikatakan Ibnul Qayyim. Meski berbuka dibolehkan, tetapi harus dilihat kondisi berat ringannya. Bila perjalanan itu tidak memberatkan, maka meneruskan puasa lebih utama. Dan sebaliknya, bila perjalanan itu memang sangat berat, maka berbuka lebih utama. Berbeda dengan keringanan dalam menjama` atau mengqashar shalat dimana menjama` dan mengqashar lebih utama, maka dalam puasa harus dilihat kondisinya. Meski dibolehkan berbuka, sesungguhnya seseorang tetap wajib menggantinya di hari lain. Jadi bila tidak terlalu
terpaksa, sebaiknya tidak berbuka.
Hal ini ditegaskan dalam hadits Rasulullah SAW,
Dari Abi Said al-Khudri RA. Berkata,”Dulu kami beperang bersama Rasulullah SAW di bulan Ramadhan. Diantara kami ada yang tetap berpuasa dan ada yang berbuka. …Mereka memandang bahwa siapa yang kuat untuk tetap berpuasa, maka lebih baik.(HR. Muslim).
2. Sakit
Orang yang sakit dan khawatir bila berpuasa akan menyebabkan bertambah sakit atau kesembuhannya akan terhambat, maka dibolehkan berbuka puasa. Bagi orang yang sakit dan masih punya harapan sembuh dan sehat, maka puasa yang hilang harus diganti setelah sembuhnya nanti. Sedangkan orang yang sakit tapi tidak sembuh-sembuh atau kecil kemungkinannya untuk sembuh, maka cukup dengan membayar fidyah, yaitu memberi makan fakir miskin sejumlah hari yang ditinggalkannya.
3. Hamil dan Menyusui
Wanita yang hamil atau menyusui di bulan Ramadhan boleh tidak berpuasa, namun wajib menggantinya di hari lain.
Ada beberapa pendapat berkaitan dengan hukum wanita yang haidh dan menyusui dalam kewajiban mengganti puasa yang ditnggalkan.
Pertama, mereka digolongkan kepada orang sakit. Sehingga boleh tidak puasa dengan kewajiban menggadha` (mengganti) di hari lain.
Kedua, mereka digolongkan kepada orang yang tidak kuat/mampu. Sehingga mereka dibolehkan tidak puasa dengan kewajiban membayar fidyah.
Ketiga, mereka digolongkan kepada keduanya sekaligus yaitu sebagai orang sakit dan orang yang tidak mampu, karena itu selain wajib mengqadha`, mereka wajib membayar fidyah. Pendapat terahir ini didukung oleh Imam As-Syafi`I RA.
Namun ada juga para ulama yang memilah sesuai dengan motivasi berbukanya. Bila motivasi tidak puasanya karena khawatir akan kesehatan / kekuatan dirinya sendiri, bukan bayinya, maka cukup mengganti dengan puasa saja. Tetapi bila kekhawatirannya juga berkait dengan anak yang dikandungnya
atau bayi yang disusuinya, maka selain mengganti dengan puasa, juga membayar fidyah.
4. Lanjut Usia
Orangyang lanjut usia dan tidak kuat lagi untuk berpuasa, maka tidak wajib lagi berpuasa. Hanya saja dia wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan fakir miskin sejumlah hari yang ditinggalkannya itu.
Firman Allah SWT
Dan bagi orang yang tidak kuat/mampu, wajib bagi mereka membayar fidyah yaitu memberi makan orang miskin. (QS Al-Baqarah).
5. Lapar dan Haus yang sangat
Islam memberikan keringanan bagi mereka yang ditimpa kondisi yang mengharuskan makan atau minum untuk tidak berpuasa. Namun kondisi ini memang secara nyata membahayakan keselamatan jiwa sehingga makan dan minum menjadi wajib. Seperti dalam kemarau yang sangat terik dan paceklik berkepanjangan, kekeringan dan hal lainnya yang mewajibkan seseorang untuk makan atau minum.
Firman Allah SWT
Dan Janganlah kamu ceburkan jiwamu ke dalam kebinasaan. (QS )
Namun kondisi ini sangat situasional dan tidak bisa digeneralisir secara umum. Karena keringanan itu diberikan sesuai dengan tingkat kesulitan. Semakin besar kesulitan maka semakin besar pula keringanan yang diberikan. Sebaliknya, semakin ringan tingkat kesulitan, maka semakin kecil pula keringanan yang diberikan.
Bila tingkat kesulitan suatu masalah itu luas (ringan), maka hukumnya menjadi sempit (lebih berat). Dan bila tingkat kesulitan suatu masalah itu sempit (sulit), maka hukumnya menjadi luas (ringan).
Kedaruratan itu harus diukur sesuai dengan kadarnya (ukuran berat ringannya).
6. Dipaksa atau terpaksa
Orang yang mengerjakan perbuatan karena dipaksa dimana dia tidak mampu untuk menolaknya, maka tidak akan dihukum oleh Allah. Karena semua itu diluar niat dan keinginannya sendiri. Termasuk di dalamnya adalah orang puasa yang dipaksa makan atau minum atau hal lain yang membuat puasanya batal. Sedangkan pemaksaan itu beresiko pada hal-hal yang mencelakakannya seperti akan dibunuh atau disiksa dan sejenisnya.
Rasulullah SAW bersabda :
Telah diangkat pena dari orang yang dipaksa, anak-anak dan orang yang lupa.(HR. )
Ada juga kondisi dimana seseorang terpaksa berbuka puasa, misalnya dalam kondisi darurat seperti menolong ketika ada kebakaran, wabah, kebanjiran, atau menolong orang yang tenggelam. Dalam upaya seperti itu, dia terpaksa harus membatalkan puasa, maka hal itu dibolehkan selama tingkat kesulitan puasa itu sampai pada batas yang membolehkan berbuka. Namun tetap ada kewajiban untuk mengganti puasa di hari lain.
7. Pekerja Berat
Orang yang karena keadaan harus menjalani profesi sebagai pekerja berat yang membutuhkan tenaga ekstra terkadang tidak sanggup bila harus menahan lapar dalam waktu yang lama. Seperti para kuli angkut di pelabuhan, pandai besi, pembuat roti dan pekerja kasar lainnya.
Bila memang dalam kondisi yang membahayakan jiwanya, maka kepada mereka diberi keringanan untuk berbuka puasa dengan kewajiban menggantinya di hari lain. Tetapi mereka harus berniat dahulu untuk puasa serta makan sahur seperti biasanya. Pada siang hari bila ternyata masih kuat untuk meneruskan puasa, wajib untuk meneruskan puasa. Sedangkan bila tidak kuat dalam arti yang sesungguhnya, maka boleh berbuka. Namun wajib menngganti di hari lain serta tetap menjaga kehormatan bulan puasa dengan tidak makan di tempat umum.
Qadha`, Fidyah dan Kaffarah
Ketika seseorang meninggalkan kewajiban ibadah puasa, maka ada konsekuensi yang harus dikerjakan. Konskuensi itu merupakan resiko yang harus ditanggung karena meninggalkan kewajiban puasa yangtelah ditetapkan. Adapun bentuknya, ada beberapa bentuk, yaitu qada` (mengganti puasa di hari lain), membayar fidyah (memberi makan fakir miskin) dan membayar kaffarah (denda). Masing-masing bentuk itu harus dikerjakan sesuai dengan alasan tidak puasanya.
1. Qadha`
Qadha` adalah berpuasa di hari lain di luar bulan Ramadhan sebagai pengganti dari tidak berpuasa pada bulan itu.
Yang wajib mengganti (mengqadha`) puasa diahri lain adalah :
a. Wanita yang mendapatkan haidh dan nifas. Mereka diharamkan menjalankan puasa pada saat mendapat haidh dan nifas. Karena itu wajib menggantinya di hari lain.
b. Orang sakit termasuk yang dibolehkan untuk tidak berpuasa Ramadhan. Karena itu apabila telah sehat kembali, maka wjaib menggantinya di hari lain setelah dia sehat.
c. Wanita yang menyusui dan hamil karena alasan kekhawatiran pada diri sendiri. Mereka dibolehkan tidak berpuasa karena dapat digolongkan sebagai orangsakit
d. Bepergian (musafir). Orang yang bepergian mendapat keringanan untuk tidak berpuasa, tetapi harus mengganti di hari lain ketika tidak dalam perjalanan.
e. Orang yang batal puasanya karena suatu sebab seperti muntah, keluar mani secara sengaja, makan minum tidak sengaja dan semua yangmembatalkan puasa. Tapi bila makan dan minum karena lupa, tidak membatalkan puasa sehingga tidak wajib mengqadha`nya.
Dalam mengqadha` puasa, apakah harus berturut-turut atau boleh dipisah-pisah asal jumlahnya sama ?
Jumhur ulama tidak mewajibkan dalam mengqadha` harus berturut-turut karena tidak ada nash yang menyebutkan keharusan itu. Sedangkan Mazhab Zahiri dan Al-Hasan Al-Bashri mensyaratkan berturutturut. Dalilnya adalah hadits Aisyah yang menyebutkan bahwa ayat Al-Quran dulu memerintahkan untuk mengqadha secara berturut-turut. Namun menurut jumhur, kata-kata ‘berturut-turut’ telah dimansukh hingga tidak berlaku lagi hukumnya. Namun bila mampu melakukan secara berturut-turut hukumnya mustahab menurut sebagian ulama.
Bagaimana hukumnya bila Ramadhan telah tiba sementara masih punya hutang qadha` puasa Ramadhan tahun lalu ?
Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Sebagian fuqoha seperi Imam Malik, Imam as-Syafi`i dan Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa harus mengqadha` setelah Ramadhan dan membayar kaffarah (denda). Perlu diperhatikan meski disebut dengan lafal ‘kaffarah’, tapi pengertiannya adalah membayar fidyah, bukan kaffarah dalam bentuk membebaskan budak, puasa 2 bulan atau memberi 60 fakir miskin. Ini dijelaskan dalam Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu karya Dr. Wahbah Az-Zuhaili. Dasar pendapat mereka adalah qiyas, yaitu mengqiyaskan orang yang meinggalkan kewajiban mengqadha` puasa hingga Ramadhan berikutnya tanpa uzur syar`i seperti orang yang menyengaja tidak puasa di bulan Ramadhan. Karena itu wajib mengqadha` serta membayar kaffarah (bentuknya Fidyah). Sebagian lagi mengatakan bahwa cukup mengqadha` saja tanpa membayar kaffarah. Pendapat ini didukung oleh Mazhab Hanafi, Al-Hasan Al-Bashri dan Ibrahim An-Nakha`i. Menurut mereka tidak boleh mengqiyas seperti yang dilakukan oleh pendukung pendapat di atas. Jadi tidak perlu membayar kaffarah dan cukup mengqadha` saja.
2. Fidyah
Fidyah adalah memberi makan kepada satu orang fakir miskin sebagai ganti dari tidak berpuasa. Fidyah itu berbentuk memberi makan sebesar satu mud sesuai dengan mud nabi. Ukuran makan itu bila dikira-kira adalah sebanyak dua tapak tangan nabi SAW. Sedangkan kualitas jenis makanannya sesuai dengan kebiasaan makannya sendiri.
Yang diwajibkan membayar fidyah adalah :
1 Orang yang sakit dan secara umum ditetapkan sulit untuk sembuh lagi.
2 Orang tua atau lemah yang sudah tidak kuat lagi berpuasa.
3 Wanita yang hamil dan menyusui apabila ketika tidak puasa mengakhawatirkan anak yang dikandung atau disusuinya itu. Mereka itu wajib membayar fidyah saja menurut sebagian ulama, namu menurut Imam Syafi`i selain wajib membayar fidyah juga wajib mengqadha` puasanya. Sedangkan menurut pendapat lain, tidak membayar
4 Orang yang meninggalkan kewajiban meng-qadha` puasa Ramadhan tanpa uzur syar`i hingga Ramadhan tahun berikutnya telah menjelang. Mereka wajib mengqadha`nya sekaligus membayar fidyah.
Berapa ukuran fidyah itu ?
Sebagian ulama seperti Imam As-Syafi`i dan Imam Malik menetapkan bahwa ukuran fidyah yang harus dibayarkan kepada setiap satu orang fakir miskin adalah satu mud gandum sesuai dengan ukuran mud Nabi SAW. Sebagian lagi seperti Abu Hanifah mengatakan dua mud gandum dengan ukuran mud Rasulullah SAW atau setara dengan setengah sha` kurma/tepung atau setara dengan memberi makan siang dan makan malam hingga kenyang.
Bila kewajiban membayar fidyah belum dibayarkan hingga masuk Ramadhan berikutnya, apakah wajib membayar dua kali atau hanya sekali saja ?
Kewajiban membayar fidyah harus dibayarkan sebelum masuk bulan Ramadhan tahun berikutnya. Tapi bila sampai Ramadhan tahun berikutnya belum dibayarkan juga, maka sebagian ulama mengatakan bahwa fidyah itu menjadi berlipat. Artinya harus dibayarkan dua kali, satu untuk tahun lalu dan satu lagi untuk tahun ini. Demikian pendapat Imam As-Syafi`i. Menurut beliau kewajiban membayar fidyah itu adalah hak maliyah (harta) bagi orang miskin. Jadi jumlahnya akan terus bertambah selama belum dibayarkan. Namun
ulama lain tidak sependapat dengan pendapat As-Syafi`i ini. Seperti Abu Hanifah, beliau mengatakan bahwa fidyah itu cukup dibayarkan sekali saja meski telat dalam membayarnya.
3. Kaffarah
Kaffarah adalah tebusan yang wajib dilakukan karena melanggar kehormatan bulan Ramadhan. Yang mewajibkan seseorangmembayar kaffarah adalah :
a. Berhubungan seksual siang hari bulan Ramadhan.
Para fuqoha telah bersepakat bahwa siapa yang melakukan perbuatan tersebut, wajib membayar kaffarah. Seseorang mendatangi Rasulullah SAW dan berkata,”Celaka aku ya Rasulullah”. “Apa yang membuatmu celaka ? “. Aku berhubungan seksual dengan istriku di bulan Ramadhan”. Nabi bertanya,”Apakah kamu punya uang untuk membebaskan budak ? “. “Aku tidak punya”. “Apakah kamu sanggup puasa 2 bulan berturut-turut ?”.”Tidak”. “Apakah kamu bisa memberi makan 60 orang fakir miskin ? “.”Tidak”. Kemudian
duduk. Lalu dibawakan kepada Nabi sekeranjang kurma maka Nabi berkata,”Ambilah kurma ini untuk kamu sedekahkan”. Orang itu menjawab lagi,”Adakah orang yang lebih miskin dariku ? Tidak lagi orang yang lebih membutuhkan di barat atau timur kecuali aku”. Maka Nabi SAW tertawa hingga terlihat giginya lalu bersabda,”Bawalah kurma ini dan beri makan keluargamu”.
Adapun batasan hubungan seksual itu adalah bila terjadi persentuhan dua kelamin meski tidak sampai penetrasi atau tidak keluar mani. Hal itu tetap dihitung hubungan seksual yang membatalkan puasa sekaigus mewajibkan membayar kaffarat.
b. Makan dan minum secara sengaja tanpa uzur.
Pendapat ini dipegang oleh sebagian ulama seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Ast-Tsauri. Namun fuqoha lainnya seperti imam As-syafi`i, Imam Ahmad bin Hanbal serta Ahluz-Zahir mengatakan bahwa makan minum secara sengaja hanya mewajibkan qadha` dan tidak perlu membayar kaffarah. Yang mewajibkan bayar kaffarah hanya bila berhubungan seksual suami istri di siang hari bulan Ramadhan.
Denda kaffarah itu ada tiga macam, yaitu :
1 Memerdekakan budak
2 Puasa 2 bulan berturut-turut
Kewajiban puasa ini adalah sebagai kaffarah dari dirusaknya kehormatan bulan Ramadhan. Selain wajib mengganti hari yang dirusaknya itu dengan puasa di hari lain, ada kewajiban berpuasa 2 bulan berturut-turut sesuai dengan hitungan bulan qamariyah. Syarat untuk berturut-turut ini menjadi berat karena manakala ada satu hari saja di dalamnya dimana dia libur tidak puasa, maka wajib baginya untuk mengulangi lagi dari awal. Bahkan meski hari yang ditinggalkannya sudah sampai pada hitungan hari yang paling akhir dari 2 bulan berturut-turut.
3 Memberi makan 60 fakir miskin
Pilihan ini adalah pilihan terakhir ketika seseorang secara nyata tidak mampu melakukan kedua hal di atas. Maka wajiblah memberi makan 60 orang fakir miskin sebagaimana yang dijelaskan oleh Rasulullah SAW.
Sedangkan ukurannya banyaknya fidyah adalah:
Siapa yang wajib membayar kaffarah, suami saja atau keduanya ?
Para fuqoha berbeda pandangan dalam hal ini. Sebagian mengatakan bahwa kewajiban membayar kaffar ini hanya dibebankan kepada laki-laki saja dan bukan pada istrinya, meski mereka melakukannya berdua, tetapi pelakunya tetap saja jatuh pada laki-laki, karena biar bagaimanapun. Karena laki-laki yang menentukan terjadi tidaknya hubungan seksual. Pendapat ini didukung oleh Imam Asy-Syafi`i dan Ahli Zahir. Dalil yang mereka gunakan adalah hadits tentang laki-laki yang melapor kepada Rasulullah SAW bahwa dirinya telah melakukan hubungan suami istri di bulan Ramadhan. Saat itu Rasulullah SAW hanya memerintahkan suami saja untuk membayar kaffarah tanpa menyinggung sama sekali kewajiban membayar bagi istrinya. Namun sebagian fuqoha lainnya berpendapat bahwa kewajiban membayar kaffarah itu berlaku bagi masing-masing suami istri. Pendapat ini didukung oleh Imam Abu Hanifah dan Imam Malik dan lainnya. Sedangkan dalil yang merka gunakan adalah qiyas, yaitu mengqiyaskan kewajiban suami kepada kewajiban istri pula.
Bagaimana bila berhubungan seksual suami istri karena lupa ?
Para ulama berbeda pandangan dalam masalah ini. Imam Abu Hanifah dan Imam As-Syafi`i berpendapat bahwa bila lupa maka dimaafkan dan tidak perlu mengqadha` juga tidak perlu membayar kaffarah. Namun Imam Malik berpendapat wajib mengqadha` saja tanpa membayar kaffarah. Sedangkan Imam Ahmad dan Ahliz Zahir berpendapat bahwa wajib mengqadha` dan wajib pula membayar kaffarah.
Ketiga macam jenis kaffarah itu apakah boleh memilih atau harus urut ?
Sebagian ulama berpendapat bahwa kafarah itu harus dikerjakan sesuai dengan urutannya, bukan atas dasar pilihan mana yang paling dia sukai. Jadi yang pertama adalah kewajiban memerdekakan budak. Hal ini sesuai dengan hadits tentang orang yang berhubungan dengan istrinya pada bulan Ramadhan, dimana Rasulullah SAW memerintahkan pertama sekali adalah untuk memerdekakan budak. Ketika dia tidak mampu karena miskin, maka Rasulullah SAW memerintahkan pilihan kedua lalu pilihan ketiga. Pendapat ini didukung oleh Imam Abu Hanifah dan Imam As-Syafi`i serta ulama Kufiyyin. Namun Imam Malik berpendapat bahwa ketiga bentuk kaffarah itu sifatnya pilihan. Silahkan memilih mana yang paling diinginkan untuk melaksanakannya.
Bila berhubungan suami istri berulang-ulang, apakah wajib membayar kaffarah sebanyak itu atau cukup membayar untuk sekali saja ?
Para fuqoha sepakat bila melakukan hubungan suami istri berkali-kali dalam satu hari di bulan Ramadhan, maka kewajiban membayar kaffarahnya hanya satu kali saja. Namun bila pengulangan itu dilakukan di hari yang berbeda dan belum membayar kaffarah, maka ada beberapa pendapat. Pendapat pertama mengatakan bahwa wajib membayar kaffarah sebanyak hari melakukan hubungan itu. Ini adalah pendapat Imam Malik dan Imam Asy-Syafi`i. Pendapat kedua mengatakan bahwa hanya wajib sekali saja membayar kaffarahnya selama dia belum membayar untuk hari sebelumnya itu. Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah dan jamaahnya.