Relung hati bersedih setiap kali kutatap mobil paman bersandar di halaman rumah. Meskipun ia adik satu perut, satu persusuan dengan ayahku. Namun begitu aku membencinya setengah mati. Kelakuan bejatnya terhadap ibu membuatku ingin meludahi wajah sosok mantan tentara itu. Mantan tentara itu dikeluarkan dari dinasnya karena terbukti sebagai otak korupsi di lingkungan kompinya. Ia sempat dipenjara beberapa tahun karena kasus itu. Kini berambisi menjadi seorang bisnisman yang menguasai sektor pangan.
Ayahku meninggal enam tahun yang lalu. Berpulang dimana sebelumnya sempat lumpuh selama satu setengah tahun. Ayah menderita stroke. Harta bendanya ludes untuk biaya pengobatan. Dan yang tersisa hanyalah rumah beserta penggilingan padi ini. Dimana secara hak milik sudah menjadi milik paman, karena hutang yang tak sanggup dibayar ayah. Padahal penggilingan padi ini merupakan satu-satunya sumber penghidupan keluarga kami.
Sejak ayah meninggal, hidupku berubah 180 derajat. Sempat suatu ketika ibu ingin menikah lagi dengan seorang guru duda berusia setara dengan ayah. Aku dan adikku mensetujuinya. Tapi entah mengapa paman menghalang-halangi kehendak kami. Padahal ini permasalahan intern keluarga kami. Kami tak tahu alasannya, hingga pada akhirnya kami mengetahui semuanya.Hari minggu bagiku bagai neraka. Hari libur yang seharusnya menjadi hari bersenang-senangku tak dapat kunikmati sejak empat tahun yang lalu. Aku dan adikku secara ikhlas harus meninggalkan rumah atau diusir secara halus dengan keberadaan paman. Anak mana yang tahan melihat ibunya berdua di kamar dengan pamannya sendiri. Kuyakini dalam hati bahwa ibu tak menginginkan hal itu terjadi. Rasa itu bukan sekedar ikrar rasa bhakti seorang anak yang tak durhaka terhadap ibunya. Tatap matanya berkata bahwa ibu tidak mencintai mantan tentara itu. Ibu lebih mencintai kami. Anak yang memijati pundak ibu saat kelelahan. Anak yang merawatnya saat sakit. Zina itu bukan berlandas cinta tapi tekanan ekonomi.
Kami meninggalkan hari liburku di rumah itu. Ada rasa berdosa mengintai kami. Dosa pada ayah karena membiarkan kumpul kebo terjadi. Aku bersumpah suatu ketika akan mengajak ibu dan adikku pergi dari rumah terkutuk ini. Untuk selamanya.
Tiga tahun yang lalu, pernah aku tidak sanggup lagi mengontrol emosiku hingga aku menelpon bibi, istri pamanku. Aku menceritakan tentang kejadian ini. Aku berharap apa yang kulakukan benar. Semoga keluarga dari pihak ayah di Solo mampu menyelesaikan permasalahan ini secara kekeluargaan. Tapi keberuntungan tak memihak kepadaku. Memang secara tamparan, aku menang atas lelaki bertubuh kekar itu. Aku mampu merasakan betapa malunya paman atas aib yang telah ku buka. Tapi secara tujuan, aku gagal total. Paman tetap melakukan pekerjaan hinanya hingga berlangsung sampai sekarang.
Pukulanku itu tidak membuat paman jera. Hanya hukuman malu sejenak yang bersandar. Bibi pun tak mampu berbuat sesuatu. Dalam keluarganya, bibi dalam posisi yang lemah, aku baru sadar sejak peristiwa itu. Paman ternyata mempunyai banyak pacar simpanan. Bibi utarakan begitu jelas kepadaku. Rasa aruku memihak pada bibi. Begitu sabar Bibi menghadapinya. Aku perlu belajar darinya. Bibi berharap Tuhan segera menginsafkan suaminya tanpa sebuah perceraian. Diikhlaskannya semua itu bukan demi cinta lagi seperti semasa ia pacaran dulu. Tapi demi psikologi anak-anaknya agar tak terganggu kelak.
Keluarga ayah lainnya juga tak mampu berkutik dan membiarkan pasrah semua itu terjadi. Pernah kakek menyuruh paman menikahi ibu saja, namun paman menolaknya mentah-mentah dengan seribu alasan. Lagipula aku juga tak sudi punya ayah tiri hidung belang seperti dia. Aku tak rela jika ibu kelak ketularan penyakit kelamin jika lelaki hidung belang itu terinfeksi dari pelacur-pelacur yang ditidurinya.
Setelah peristiwa itu paman ke rumah kami secara sembunyi-sembunyi dari bibi. Nampak kebencian paman kepadaku sejak peristiwa itu. Ia sering memukuliku tanpa alasan. Menampar mukaku ketika marah, meskipun bukan aku penyebab kemarahannya. Aku pun rela ia pukuli. Tapi jangan sampai ia melakukannya pada ibu dan adikku. Atau aku akan membunuhnya.
Pernah sekali aku dituduh paman membocorkan aibnya pada keluarga untuk kedua kali. Berita itu telah membulatkan tekat bibi untuk menceraikan paman. Meskipun cerai itu akhirnya tak terjadi. Aku tak tahu siapa yang mengirim foto adegan ranjang ibu dengan paman kepada bibi. Ada dua kemungkinan siapa pelakunya. Adik atau ibuku, karena aku tidak pernah merasa melakukannya. Secara pemikiran simple tidak mungkin adikku melakukan itu, bagaimana mungkin anak kelas 4 SD mendapat pinjaman kamera, memotretnya dan mengirimnya lewat pos sedemikian manisnya. Aku yakin ibuku yang melakukannya. Tapi untuk apa ? Sejenak aku bangga pada ibu. Karena aku merasa ia dipihakku. Menolak penindasan mantan tentara yang angkuh itu.
Dampak peristiwa itu paman marah besar kepadaku. Ia yakin akulah pelakunya. Bahkan ia tak mau mendengarkan pembelaanku. Pernah paman bertanya siapa pelakunya. Kujawab dengan lantang ”Yang pasti bukan aku” sambil tersenyum menghina. Pamanpun mendaratkan sepatunya dimukaku. Sejenak aku ingin melindungi ibu. Aku takut paman akan memukuli ibu jika tahu kalau ibulah pelakunya. Tapi hati kecilku berharap ibu mengaku di depannya. Supaya jelas bahwa sebenarnya beliau membenci perbuatan paman. Aku tetap bertahan untuk tak mengungkapkan pelaku sebenarnya. Tuduhan itu tetap singgah kepadaku.
Paman menyeretku. Menyekapku. Membungkam mulutku agar aku tak berteriak. Mengikat kedua tanganku dibelakang punggungku. Dan mengikat kakiku dengan kaki meja belajar di kamarku. Sekapan ini membuatnya leluasa menghajarku. Karena tak jarang aku melakukan pembelaan saat dia menghakimiku. Berkali-kali dia memukuliku dengan gagang sapu, hingga wajahku nampak merah-merah. Ia menampar mukaku dan menendang kepalaku berkali-kali. Aku menangis tak berdaya. Tubuhku tergeletak dilantai. Lemah lunglai tak berdaya. Berkali-kali tumit sepatu kulit hitam itu mengucek-ucek kepalaku.
Kemudian paman membuka sekapan mulutku. Aku pikir penderitaan ini segera berakhir. Tapi ternyata tidak. Kata-kata paman membuat imajinasiku berkembang terhadap bentuk penyiksaan berikutnya dalam waktu seperseribu detik. ”Akan kucuci mulutmu agar mulutmu bersih. Agar kau tak seperti wanita yang suka menggosip. Mengurusi urusan orang lain”. Imajinasiku langsung mengarah pada hukuman yang pernah ditayangkan di sinetron TV semalam. Hukuman sabun.
Dugaanku benar, ia mengambil sabun mandi dari dalam kamar mandi. ”Buka mulutmu”, kata pamanku sambil menyumpalkan sabun itu kemulutku. ”Buka mulutmu”, perintahnya lagi dengan nada membentak-bentak. Sabun itu dimasukkan ke mulutku. ”Bukaaaa”, tambahnya lagi. Aku tak punya lagi tenaga untuk melawan. Sabun itu bertengger di telakku. Rasanya pahit sekali.
Tak ada lagi air mata yang keluar dari mataku. Mataku pilu. Tubuhku lemas. Kepalaku berkunang-kunang serasa mau pingsan. Aku mual. Aku muntah. ”Wuueekk…..”. Paman pergi meninggalkan aku yang berlumur muntahan di tubuhku saat itu. Ikatan itu tak dilepasnya juga. Aku tergeletak dilantai.
Ibu mendekatiku. Ia berdiri memandangku di dekat pintu kamar. Air matanya menetes. Tapi air mata itu tak mengobati rasa kecewaku kepadanya. Kepada seorang ibu yang terdiam melihat anaknya disiksa bagai tawanan perang. Ibu memanggil Ari, adikku untuk melepaskan ikatanku. Bahkan ia tak mau melepaskan dengan tangannya sendiri. Entah alasannya mengapa aku tak tahu. Apa ia tak ingin membuat paman lebih marah lagi karena ibu membantuku. Apa ia melindungi dirinya sendiri atau alasan lain yang aku tak tahu.
Aku menatap ibu dengan penuh kecewa. Mataku memandanginya dengan tatapan buram tak berenergi. Sejenak aku berburuk sangka pada beliau. Fikirku sepintas ibu sengaja memfitnahku agar paman menghukumku untuk sebuah peringatan. Atau ibu ingin menghancurkan keutuhan keluarga paman yang selama ini bibi pertahankan. Astaga. Betapa kejamnya ibu dalam pikiranku saat itu.
Hubunganku dengan paman bagai musuh, sejak peristiwa itu. Ibu lebih banyak menyendiri di dalam kamar. Pekerjaan menjaga penggilingan padi telah diburuhkan pada orang lain. Keluarga kami mendapat jatah makan dari paman. Tapi sayangnya aku tak dihitung dalam jatah tersebut.
Tiap hari minggu, jam delapan pagi disaat teman-teman lainnya menyaksikan berbagai pilihan film kartun di TV. Aku memilih pergi, menghindari pamanku. Adikku pun meniru tindakanku itu secara alami. Tanpa aku ajari.
Aku merasa nyaman di rumah Mbak Har, satu-satunya mahasiswi jurusan psikologi di kampungku. Aku curhat dengan ia apa adanya. Ia begitu mengerti aku, menasihatiku tiap kali aku meminta pertimbangannya. Aku tak banyak bergaul dengan teman kampungku kecuali Mbak Har yang usianya tiga tahun di atasku. Ia sekarang sudah semester enam, sementara aku masih kelas XII SMA. Aku memiliki tiga teman seangkatan di kampung. Tapi aku bergaul dengan mereka sewajarnya saja, bahkan dapat dikatakan sangat terbatas. Dua diantaranya melihat keluargaku sebelah mata. Mereka menganggap kami keluarga hina, keluarga kumpul kebo. Bahkan satu diantara mereka pernah menyindirku dengan topik yang berbeda. Sindiran itu mengena di hatiku. Sindiran tentang seseorang yang hanya membisu melihat perilaku menyimpang di depan matanya. Aku pun terdiam. Tak dapat melakukan pembela. Dan aku harus berpura-pura tak tahu kalau sindiran itu diperuntukkan kepadaku. Mereka belum pernah menjadi seperti aku. Makanya bisa ngomong semudah itu. Permasalahannya tak sesederhana yang mereka bayangkan.
Teman-teman seangkatan yang tak bisa kutaklukkan membuat aku minder bergaul. Di kampung aku serasa tak punya teman. Aku hanya bertepuk sapa ketika melihat teman-teman sedang asyik nongkrong. Atau kalau nimbrung nongkrongpun aku hanya banyak diam.
Mbak Har begitu peduli denganku. Waktu istirahatnya ia relakan terbuang denganku. Hanya sekedar menjadi pendengar setia atas kumpulan ceritaku, kumpulan rasa sakitku. Ia pun juga sangat bisa dipercaya untuk menjaga rahasia yang selayaknya tak pantas di dengar masyarakat umum.
Pernah aku bercerita dengan Mbak Har tentang pola hidupku. Aku merasa pola hidupku tak wajar seperti dengan teman-teman seusiaku. Aku merasa hidup tak normal. Tak lengkap. Aku begitu tak mengenal gadis. Terlalu cuek dengan gadis yang ku kenal. Sementara teman yang lain sibuk kesana kemari mengejar bidadari pujaannya. Aku merasa tak gembira. Hidupku buram. Angan-anganku mendung.
Cita-citaku hanya ingin melepaskan keluargaku dari lilitan babi itu. Paman begitu menekan keluargaku dengan himpitan ekonomi. Paman tahu bahwa keluarga kami tak bisa hidup tanpa kebijaksanaan paman. Keluarga kami amat tergantung padanya. Kalau paman ingin mencabut rumah dan penggilingan padi ini tentu dengan sangat mudahnya paman melakukannya. Hanya dengan kedipan mata. Amblaslah tempat tinggal kami.
Aku tak muluk-muluk. Aku hanya ingin menyelesaikan SMAku. Punya pekerjaan tetap dengan gaji di atas UMR. Menyekolahkan adikku dan mampu menghidupi keluarga dalam sebuah kontrakan. Aku tahu angan itu terlalu dini untuk remaja seusiaku. Aku juga tak boleh gegabah melangkah yang ujung-ujungnya akan menyengsarakan keluarga.
Atas tawaran Mbak Har aku bekerja di bengkel milik saudaranya. Pengetahuanku tentang perbengkelan sangat minim. Tapi karena Mbak Har yang membawaku. Aku dapat bekerja di sana. Gajinya lumayan untuk tambahan uang saku. Aku bekerja setelah pulang sekolah. Kira-kira jam 2 hingga tutupnya bengkel. Hanya empat sampai enam jam aku bekerja tapi Mas Jum, si pemilik bengkel memberiku uang yang lebih dari cukup. Enam ribu bahkan terkadang sampai dua belas ribu perharinya. Aku disana sebagai tukang bersih-bersih. Tukang yang mempersiapkan ini itu dan tukang bongkar pasang motor.
Suatu ketika Mas Jum tahu kalau aku sedang sakit. Mas Jum menyuruhku untuk istirahat, tidak perlu bekerja. Tapi aku tetap nekat. Kalau aku tidak bisa mengalahkan rasa sakitku. Bagaimana aku bisa mengalahkan kekejaman pamanku. Aku sudah familiar dengan rasa sakit. Baik sakit fisik maupun sakit psikis. Demam bukan suatu masalah bagiku. Pusing sudah menyatu dengan kepalaku. Aku bisa bertahan. Semua itu bagai terapi bagiku untuk dapat memenangkan pertarungan hidup. Sebuah tantangan.
Mas Jum berkali-kali menyuruhku istirahat. Tapi aku selalu menolaknya. Aku menyembunyikan rasa sakit ketika berhadapan dengan Mas Jum. Aku mencoba berdiri tegak. Tersenyum. Bercanda-canda. Agar Mas Jum tidak tahu bahwa aku sedang sakit. Tapi semua itu percuma. Raut mukaku yang merah, lesu tanpa diperintah itu tetap mengekspresikan sebuah kesakitan.
Mas Jum memberikan uang 50 ribu agar aku berobat ke dokter tapi aku menolaknya. Meskipun Mas Jum mengikhlaskan uang itu padaku. Tapi bagiku itu hutang. Suatu ketika aku harus membalasnya. Aku mengatakan bahwa aku sudah periksa ke dokter, walaupun sebenarnya tidak pernah. Inginku Mas Jum tenang itu saja. Mas Jum mengancamku kalau aku tidak mau periksa ke dokter, maka Mas Jum akan membayar gratis atas kerjaku di bengkel.
Berbulan-bulan aku menyembunyikan rasa sakitku. Aku nekat sekolah, bekerja. Obat yang terjual bebas di pasaran menjadi dopping rasa sakitku. Tanpa peduli dosisnya. Aku merasa sebagai dokter atas diriku sendiri. Karena aku mengalami maka aku paham apa yang kubutuhkan. Tak perlu resep-resep dokter yang tak boleh sembarangan diberikan pada orang miskin.
Hampir satu tahun aku menahan sakit yang tak ku ketahui sebabnya itu. Aku semakin kurus, kusut, kumal. Ibuku sering mengingatkanku untuk berobat tapi aku diam. Rasa kecewaku padanya telah membuatku antipati untuk menerima belas kasihannya. Waktu aku tidur, ibuku menyelinapkan uang 200 ribu dibawah bantalku, disertai kartunama seorang dokter kenalan ibu. Aku tahu maksud ibu agar aku berobat kepada dokter tersebut. Aku tetap tak mengindahkannya. Uang itu sampai sekarang masih di bawah bantal. Entah ibu tahu atau tidak. Aku tak pernah menggunakannya.
Tiga hari lagi, saat kemenangan bagiku telah tiba. Ijasah SMA akan samapi pada genggamanku. Masa ku menuntut ilmu dibangku sekolah telah habis. Saatnya aku mengabdi pada alam. Belajar dengan alam. Guruku, Pak Hasan menawariku kerja di pemancingan yang dia kelola, kalau seandainya aku tak melanjutkan kuliah. Kuterima tawaran itu dengan senang hati. Bahkan Pak Hasan menyuruhku menempati rumahnya di dalam pemancingan itu. Karena Pak Hasan memiliki dua rumah. Pak Hasan begitu percaya kepadaku, setelah melihat kinerjaku sebagai ketua OSIS di SMA, waktu aku kelas XI. Beliau begitu dekat denganku. Aku telah menemukan jalan. Jalan yang akan melepaskan keluargaku dari belenggu paman. Itupun kalau ibu mau.
Siang itu panas sangat terik. Aku mendapat tugas menurunkan mesin motor di Bengkel Mas Jum. Tugas itu begitu ringan kulakukan karena dibantu Bandi, si tukang bubut. Aku sempat bercanda dengan Bandi sambil mencabut satu per satu skrop yang mengikat kuat blok mesin itu. Hingga akhirnya kepalaku berkunang-kunang. Pandanganku buram. Semakin gelap. Semakin Gelap. Dan Gelap. Semua hilang dari pandanganku. ”Brukkkk….” Aku pingsan.
Ketika ku buka mata. Aku melihat ibu, adik, mbak Har duduk di samping kiriku. Tembok-tembok bercat putih, yang kuyakini rumah sakit. Aku melihat seklebat sosok laki-laki perawakan besar sedang menatapku dan mencoba tersenyum dengan senyum palsunya. Itu senyum paman. Aku yakin itu senyum kebahagiaan.
”Ayo nak, sadarlah, bangunlah, sudah tiga hari kamu tak sadarkan diri. Ibu ingin mendengarkan suaramu lagi. Bangkitlah untuk mimpimu”. Suara ibu terdengar ditelingaku putus-putus. Terdengar begitu lirih. Kembali kulihat semua menjadi gelap. Seperti terjadi gerhana matahari.
Tiba-tiba kulihat cahaya terang dari arah langit. Dan cahaya itu mendekat seraya menjemputku. Akupun terbangun mengikuti cahaya itu. Aku terheran, ketika ku terbangun. Tubuhku masih terbaring di bangsal itu. Kucoba meraih-raih tubuhku tapi tak mampu. Kutatap semua orang menangis. Sambil memeluk tubuhku. Aku menyapa mereka. ”Ibuuu”, teriakku kencang. Tapi tak ada yang membalas sapaanku. Aku sejenak tak percaya. Yang berdiri di sini adalah rohku. Sedangkan jasadku masih terkapar. ”aku sudah meninggal”, kataku. ”apakah kau malaikat ? tanyaku pada sesosok cahaya itu. Apakah aku sudah meninggal?, tambahku. Malaikat itu mengangguk, sebagai tanda mengiyakan.
Aku telah membuat kesepakatan dengan malaikat bahwa aku diijinkan tetap di bumi selama tiga hari. Menanti rasa ikhlas untuk melepaskan ibu dan adikku. Aku juga masih ingin menatap mereka setidaknya selama tiga hari.
Pada saat penguburan jasadku, sore itu. Pak Hasan sebagai wakil sekolah memberikan pidatonya dalam sela-sela upacara pemakaman. Pak Hasan memberitakan sikap-sikap baikku di hadapan hadirin peziarah itu. Sedang sikap buruk dimasa hidupku tak diutarakannya. Aku berterima kasih kepadanya atas ungkapan itu. Paling tidak itu bisa membuat keluargaku bangga padaku. Pak Hasan juga menceritakan secara pribadi ia akan mempekerjakanku di pemancingannya. Tapi gagal, karena ajal menjemputku lebih dulu. Pada saat itu aku lihat Pak Hasan meneteskan air mata. Bersama dengan harapan-harapanku yang sirna. Pak Hasan kemudian memberikan ijasahku atas pendidikan yang telah kuselesaikan. Karena hari ini adalah hari anak-anak terima ijasah.
Dua hari setelah pemakaman itu. Rohku membuntuti ibuku. Dikamarnya dia terlihat begitu pilu setelah sekian lama menangis. Ijasahku beliau pajang di tembok, diatas tempat tidurnya. Ku lihat ibu sedang menulis surat untukku …
Untuk anakku di Surga
Ibu yakin kamu sekarang di Surga
Salam Sayang,
Ibu mengucapkan selamat atas prestasimu, kamu lulus dengan nilai terbaik di kelasmu. Secara pendidikan kamu telah berhasil membahagiakan orang tuamu, ibu dan ayahmu di surga. Ibu bangga terhadapmu nak.
Ibu berterima kasih juga atas sikapmu yang mengayomi ibu dan adikmu. Ibu begitu terharu melihat anak ibu tak menyempatkan waktu untuk beristirahat. Pagi sekolah, sore bekerja. Karena memang pejuang sejati tak pernah mengenal istirahat kecuali ajal menjemputnya untuk beristirahat dengan abadi.
Baktimu pada keluarga telah kau tunjukan anakku. Ibu banyak belajar banyak darimu. Kamu begitu tegar menghadapi cobaan hidup.
Maafkan ibu atas kelakuan ibu yang menyiksa batinmu nak. Ibu sebenarnya juga tak mengendaki ini terjadi. Sumpah, ini ibu lakukan untuk bertahan hidup agar kamu, adikmu dan ibu bisa makan. Untuk sejenak dapat bertahan di tempat ini hingga tiba waktu untuk pindah.
Tahukah kamu nak. Ibulah yang mengirimkan foto itu kepada bibi. Aku berharap paman menjadi jera. Tapi ternyata tidak, pamanmu tetap saja nekat. Bahkan aku merasa bersalah atas hukuman paman kepadamu karena kamu di tuduh pelakunya. Aku menyesal saat itu. Aku takkan melawannya secara kekerasan, karena nanti kamu justru yang menjadi korban.
Akhirnya aku tersadar nak. Bahwa kunci untuk keluar dari belenggu ini adalah harta. Maka sejak itu aku banyak menghabiskan waktu di kamar untuk menulis. Menulis kisah nyata yang terjadi di keluarga kita. Secara nyata kamu dan adikmu juga ikut menulis naskah ini.
Kemarin naskah novel itu telah ibu masukkan ke penerbit. Penerbit menyetujui karya ibu dengan memberikan royalti 30 % atas setiap novel yang terjual. Bahkan penerbit itu mengprediksikan kalau novel ini aka menjadi best seller. Semoga, doaku. Penerbit itu juga menambahkan akan menjalin kontrak penulisan novel berikutnya dengan ibu.
Ibu berharap hasil susah payah ibu menulis bisa kita gunakan untuk mengkontrak rumah dan terlepas dari tekanan pamanmu.
Doaku semoga engkau bahagia di surga sana bersama ayah. Janganlah kamu menghawatirkan ibumu. Karena ibu dan adik yakin bisa menaklukkan hidup.
Salam sayang dari ibumu
Pesan dalam surat yang tak tahu akan dikirimkan lewat pos mana itu telah sampai padaku. Aku semakin bangga terhadap pejuang ahimsa ibu. Ku tatap senyum ibu saat itu. Kubalaskan dengan senyum ikhlasku pula. Dari arah langit kulihat Sang Cahaya kembali menyapaku. Aku pun mengikuti jejak malaikat itu ke tempat ayah menungguku disana.