BABU

Inilah negeri babu. Apa-apa tentang babu. Di sini babu di sana babu. Di mana-mana ada babu. Hidup babu matipun masih babu. Orang tua kami para babu. Leluhur kamipun dulu juga babu. Dan kami para babu akan tetap melahirkan bibit-bibit babu baru.
Begitulah kondisi di negeri babu. Semua orang berebut kursi babu. Semakin elegan kursi yang mereka duduki, semakin besar kelapa juga tingkahnya. Dasar orang tak berpendidikan, dunia babupun di kastakan. Bahkan disakralkan.
Di negeri babu. Kursi itu adalah barang sakral yang paling dianggap layak bagi kemanusiaan. Meskipun nyatanya jelas-jelas tak manusiawi. Dengan cara tak manusiawi pula mereka beradu. Jual beli bukan rahasia lagi. Penjilatan sebagai barang yang disegani. Mengemis, menusuk, menikampun sudah menjadi tradisi.
Begitulah kondisi di negeri babu. Kursi babu jadi sebuah trend untuk ajang eksistensi. Lalu mereka berdiri di atas kursi. Dengan leluasa menginjak-injak kursi empuk pinjamannya itu. Bergaya bak model. Berpotret-potret ria. Berpose ala bintang. Dan tak lupa diuploadlah sebagai modal kecengan di dunia maya. Tanpa sepengetahuan majikan tentunya.
Begitu pula nasib anakku. Laki-laki ganteng melangit itupun paling hanya cikal bakal seorang babu. Mana mungkin akan terlahir mahkota raja dari rahim babu sepertiku. Ah tak mungkin. Aku bukan Siti Maryam. Aku hanyalah babu yang bersuamikan babu pula. Tujuh turunan di atasku juga babu. Yang pasti anakkupun akan menjadi seorang babu. Emangnya dapat turunan dari siapa? Dari langit?
Biarlah aku dianggap sebagai golongan yang pesimistis. Tapikan itu sebuah realita. Hayo, mana buktinya kalau sekolah tinggi bakal memanusiakan? Mana buktinya? Bagiku semua itu hanyalah omong kosong yang digembor-gemborkan secara berlebihan. Mana jaminannya? Tak pernah kutemui dongeng seorang babu disulap menjadi majikan tanpa uang. Mana ada? Emangnya sekolah gratis apa? Emangnya kalau pinter biaya sekolah gratis apa? Mana ada? Kalau teori semakin pinter orang semakin sulit binaannya, makanya bayarnya mahal. Nah itu aku baru percaya.
Ku yakin anakku akan dididik oleh alam. Ibukotalah yang kutitipi untuk mendidiknya secara nyata, bukan suatu teori yang dinyata-nyatakan.
***
Sudah lima tahun kami terpisah. Hanya demi menabung rupiah saja Hari di Jakarta. Tak lebih dari itu. Dan tak muluk-muluk lagi. Tanpa kabar selembarpun kuterima darinya selama ini. Tanpa tahu menahu kabarnya, diam-diam aku rindu.
Melintas lamunan penasaranku. Kutanya dalam hati yang tak mungkin menjawab ini. Bagaimana kabar Hari sekarang? Mungkinkah kesuksesan diraihnya sekarang? Atau malahan sudah menjadi kere disana? Namun dalam keyakinanku tetaplah sama. Aku yakin dia masih menjadi babu sekarang. Mewarisi darah kami yang abadi.
***
Sore itu, langit merentangkan selendang birunya. Namun kapas putih tipis-tipis masih menyebar seenaknya menutupi biru itu. Dalam keadaan yang sama. Hatiku haru biru. Merindukan anak semata wayangku yang mungkin sedang asyik menghitung hartanya.
Perlahan dengan bahasa cinta. Ojek yang biasa mangkal di terminal itu mendekat ke arahku. Senyum ramah Pak Ojek mengisyaratkan kabar baik untukku. Kulihat siapa yang diboncengnya. Semakin mendekat semakin kukenal dia. Wajah gagah seperti suamiku. Ah bukan, suamiku kan sudah mati. Lalu siapa tanyaku. Dan ketika motor ojek berhenti mendadak di depanku. Kulihat raut wajahku di raut wajahnya. Itu Hari. Jelas-jelas Hari.
Kulayangkan pelukku dengannya. Penuh haus luapan kangen tiada tara. Sekejap kulupakan tukang ojek yang masih setia menanti bayaran. Karena tentu saja saat lebaran seperti ini tarif-tarif sudah membumbung dua tiga kali lipat dari biasa. Makanya kubiarkan dia menunggu.
Hari, saat itu begitu sejuk dipandang. Agaknya dia telah mengikuti pendidikan militer yang telah membuat badannya semakin berotot. Dalam lepas kangen sore itu, Hari mengutarakan permintaannya padaku. Permintaan yang amat berat kupenuhi.
“Mak, ikutlah Hari ke Jakarta mak. Hari sekarang sudah punya rumah di Jakarta”
“Syukurlah le. Tapi Emak nggak bisa tinggal di sana. Emak harus menjaga warisan mendiang bapakmu ini. Rumah ini. Tanah ini. Dan kehidupan ini.”
“Tapi Mak…”
“Tapi apa le? Kamu masih terlalu muda untuk mengerti apa yang Emak rasain. Meskipun rumah ini sudah terlalu reot, tapi ini masih layak pakai, anakku. Sampai robohpun akan tetap Emak jaga. Bagaimanapun juga ini hasil keringat bapakmu.”
“Mak. Tapi Emak tahu kan kalau rumah ini nggak ada sertifikatnya. Cepat atau lambat pasti kena gusur juga. Dimana-mana lagi trend penggusuran mak”
“Oo allah le le, tanah memang bukan punya kita. Tapi bangunannya kan punya kita. Kalau digusur, emangnya pemerintah mau ganti rugi apa? Pakai uang siapa? Heh? Kalau maupun, toh itu juga uang kita. Ah, lagian tai kucing dengan semua itu. Hukum dibuat memang untuk menekan orang lemah seperti kita ini le. Jangan kamu kaget begitu. Apa kamu pernah mendengar cerita orang kaya dihukum? Pejabat dihukum? Padahal sudah jelas mereka ketangkap mencuri. Tak ada cerita itu le”
“Mak. Emak harus tahu. Sebentar lagi daerah ini mau dibangun bandara. Mau tidak mau pasti digusur juga mak”
“Jangan paksa emak. emak nggak peduli. Langkahi dulu mayat Emak kalau mau tanah ini”
Tak kusangka kulihat anakku yang gagah itu menangis. Sangat kontras dengan pawakannya yang besar itu.
“Kenapa kamu menangis nak?”, tanyaku
“Mak, maafkan Hari mak. Hari hanyalah seorang babu yang harus menjalankan tugas”
“Aaaah…anjing!!! Jadi kau pulang untuk itu?”
“Iya mak. Hari mendapat tugas untuk meratakan tempat ini. Ini pekerjaan Hari sebagai Satpol PP mak”
Aku jatuh tersungkur ke tanah. Entah karena kaget atau memang sedang dibunuhnya. Orang keras kepala yang tak menurut aturan sepertiku memang selalu dibiarkan mati daripada mengusik dan mengganggu. Sedangkan yang selalu mengangguk-angguk seperti kerbau selalu dimenangkan seperti biasanya.
Sekejap, tak kulihat lagi cahaya menerangi mataku. Saat itu saat terakhir aku melihat Hari dengan ambisi kebabuannya. Dan secara resmi pada saat itu pula aku keluar dari komunitas para babu. Aku merasa sedang dikhianati.
Akupun pergi. Meninggalkan tradisi. Menghidupkan harga diri dan mencari kemerdekaan abadi. Dan mungkin Haripun sudah melangkahi mayatku.

Artikel Terkait: