SELINGKUH

Perempuan berusia kepala tiga itu tampak resah. Suaminya yang bekerja mengais rejeki di laut sebentar lagi akan menapakkan kakinya di istana keluarga. Pesta sederhana penyambutan kepulangan suaminya tak tampak kali ini. Yang ada hanyalah sesosok perempuan yang tengah bingung merencanakan sesuatu. Alasan atau apapun yang mampu digunakannya untuk membela diri.

Sudah hampir satu tahun sepasang suami istri itu berpisah. Suaminya bekerja sebagai nakhoda kapal penumpang jalur Indonesia-Eropa. Sedangkan dirinya hanyalah ibu rumah tangga yang belum dikaruniai anak sama sekali. Niska nama perempuan itu. Parasnya yang cantik dan tubuhnya yang begitu eksotik tak dapat dipungkiri mampu menggoda birahi lelaki manapun.
Kini Neng Niska sedang mengandung. Dokter memperkirakan usia kandungan itu sudah mencapai empat bulan. Belum terlalu besar memang. Namun tak mampu dipungkiri mata sudah mampu mendeteksi keberadaannya. Tubuhnya yang seksi mulai terganggu dengan bengkakan perut itu. Tapi tak begitu tampak ketika dirinya memakai gaun yang kebesaran. Semuanya masih dapat tertutupi.
Perut itu memang harus ditutupi. Rahasia yang paling memalukan dalam perjalanan hidupnya. Ia sendiripun bahkan tak mampu mengetahui ayah dari si janin. Sudah terlalu banyak ia berhubungan dengan laki-laki yang bukan suaminya. Semenjak kepergiaan suaminya setahun lalu.
Dua bulan yang lalu Neng Niska berniat menggugurkan kandungannya itu. Ia pun mendatangi seorang dukun di sebuah desa di pedalaman Ngawi. Namun bukanlah keguguran yang ia dapatkan. Tapi justru didapati tubuh kesayangannya itu digauli oleh sang pemuja mantra. Dengan alasan ritual memutuskan roh kehidupan di dalam kandungan, persetubuhan itu dilakukan. Neng Niska pun percaya begitu saja. Dan rasa percaya itu berubah menjadi nafsu yang sangat dahsyat ketika tubuhnya digerayangi.
Tak mendapatkan hasil yang memuaskan. Neng Niska pun mendatangi dukun yang lain. Berikutnya dukun-dukun wanitalah yang lebih dipilih. Namun tetap saja janin itu melanjutkan nafas kehidupannya. Ia pun sempat beralih ke dokter kandungan. Namun sayang sang dokter tak mengabulkan permintaannya.
Tak puas dengan hasil usahanya. Neng Niska mencoba melakukan praktek aborsi sendiri yang metodenya diperoleh dari berbagai situs internet. Namun tetap saja isi perutnya itu membesar diluar kendalinya. Ia pun terpaksa harus mengakui keberadaan roh di perutnya itu.
Dua jam lagi suaminya akan tiba di rumah. Tak ada pilihan lain kecuali berterus terang padanya. Perbuatan zina yang telah lama dilakukannya itu wajib dipertanggungjawabkan.
Semula kejadian amoral itu berawal di Bulan Desember tahun lalu. Ketika suaminya tengah berlayar dan kedua pembantunya menikmati pulang kampung akhir tahun. Tertinggallah dirinya dengan satpam rumah itu. Kesendiriannya membangkitkan nafsu syahwatnya pada Pak Giman, satpam yang bertugas menjaganya. Neng Niska merangsang pekerjanya itu dengan sopan. Namun Pak Giman pun tetap mampu mendeteksi signal itu dengan begitu mudah. Terjadilah persetubuhan berkali-kali.
Tak puas dengan Pak Giman. Dirinya yang sudah terlanjur menodai akad nikah, menambahkan kegilaan dengan tidur dengan mantan pacar SMAnya dulu. Saling kontak lewat chating pun berujung pada sebuah hotel. Di hotel yang kemudian menjadi langganannya. Office boy yang begitu akrab dengan keberadaannyapun juga tak luput menjadi teman kencannya.
Pergaulan di luar kendalinya itu membuat jam terbang keluyurannya semakin tinggi. Semakin lama ia keluar rumah, semakin banyak lelaki hidung belang yang dikenalnya. Tak sedikit pula lelaki yang sengaja ia belangi hidungnya.
Kepalanya semakin pusing ketika mengingat semuanya. Dipijat-pijatinya kepala itu supaya cekot-cekot dikepalanya berkurang. Akhirnya ia mendapatkan sebuah ide brillian. Perempuan itu berencana menuduh Pak Giman biang dari semua ini. Dan ia pun terdiam barang sejenak. Pikirnya dalam hati “bagaimana nanti jika suaminya justru menyuruh Pak Giman menikahinya”. Tak terbayangkan ia akan menjadi istri satpam di rumah itu. Lamunannya membawa dirinya ke gerbang kemiskinan yang sangat dibencinya. Ia pun membatalkan kembali rencana sepihak itu.
Ia sungguh kebingungan. Dipukulinya pelipis kepalanya berkali-kali. Sementara di luar jendela dilihatnya Pak Giman dengan santainya melakukan rutinitas tugas.
Neng Niska mulai menangisi tindakannya. Apa yang dikatakan dosennya dulu memang benar adanya. Dari ketiga nafsu manusia yaitu harta, tahta dan sex. Justru sex lah yang paling membahayakan. Bahkan harta dan tahta pun dapat hanyut termakan dampaknya. Sejenak dia berfikir. Logis juga petuah dosennya itu. Dalil itu pun dapat digunakannya untuk membela diri. Dengan mudah, ia dapat menyalahkan pekerjaan suaminya yang membuatnya jarang pulang. Di balik logika itulah ia akan berlindung. Sifat manusiawi yang menurutnya pantas ditoleransi.
Neng Niska meyakini suaminya pun juga berselingkuh di negeri lain. Kalau kesendiriannya tak mampu ia bendung, bagaimana dengan kesendirian suaminya di negeri orang yang katanya lebih amoral itu. Dan dapat dipastikan suaminya pun melakukan perselingkuhan sama seperti dirinya.
Tapi alibi itu dirasakannya sangat berat. Posisinya akan kalah. Dia tak punya bukti untuk melakukan tuduhan. Sementara bukti diperutnya sudah sangatlah jelas menuduhnya. Sejenak ia merasakan ketidakadilan.
Ketakutannya semakin kuat ketika bayangan perceraian menguasai dirinya. Bagaimana nasibnya setelah itu. Siapa lelaki yang akan menikahinya dalam keadaan mengandung. Ia semakin membayangkan dirinya menjadi gelandangan di pinggir jalan tanpa suami dan keluarga.
Ia tak berani menghadapi kepulangan suaminya. Benar-benar tak berani. Diambilnya sisa obat nyamuk cair dipojok kamarnya. Dicongkelnya tabung obat itu. Isinya yang menyengak hidung ditampung dalam bejana kaca. Sebentar lagi itu akan berubah menjadi air minum yang mematikan.
Termenung ia pada bayang-bayang suaminya. Sekejap ia berpaling dari rencananya semula. Ingin dirinya menatap wajah suaminya itu sejenak sebelum kematiannya. Walaupun jutaan nadi kemarahan mewarnai wajah suaminya namun ia tetap ingin melihatnya.
Tak ada harapan lagi dimaafkan. Dan ia pun juga tak mengharapnya. Karakter tegas suaminya sangat ia kenali. Suaminya begitu antipati pada segala bentuk penghianatan. Tapi dirinya tak ingin mati sekarang. Mati tanpa pembelaan sama sekali. Kematiannya yang akan menjadi sebuah misteri besar.
* * *
Mobil dengan sopir Pak Giman masuk garasi sore itu. Suaminya yang tampak kelelahan keluar dari belakang mobil dengan membawa koper-koper besar. Para pembantu segera menyambut koper itu sedangkan Neng Niska segera memeluk suaminya. “Aku belum siap meninggalkanmu sayangku”, pikirnya dalam hati.
Malam itu pun merajut bak malam pertama. Merekapun terlihat begitu romantis di atas ranjang tidurnya. Perempuan itu duduk dipangkuan suaminya. Kening Neng Niska menempel di dagu suaminya. Mereka pun terlihat sedang asyik berbincang. Neng Niska terlihat ragu-ragu memulai cerita rahasianya.
“Pa, saya ingin bercerita. Tapi papa tahan emosi dulu ya ? dengarkan hingga cerita mama selesai”
“Memangnya mau cerita apa ma ?”, tanya suaminya keheranan.
“Tapi papa harus janji. Papa tidak boleh marah sebelum semua cerita mama selesai”
“He’em”, suami itupun tersenyum isyarat mengiyakan.
“Pa …”
“Apa ma …? ”
“Pa, aku hamil”
“Haaamil ?”. Suami itu tampak kaget. Dilepaskan Neng Niska dari pelukannya.
“Maafkan aku pa. mama telah berdosa. Karena…”. Suaranya itu semakin lama makin lirih bagai  fade out.
“Bagus dong ma. Papa sebentar lagi punya anak. Yuuu huuuuuuu ! ”
“Tapi pa …janin ini telah berusia empat bulan. Sedangkan papa sudah berlayar selama satu tahun”
“Lha terus kenapa ma ?”, tanya suami itu berlagak bodoh.
“Pa… papa sadar nggak sih. Jangan berpura-pura bodoh begitu ah. Ini serius pa. Janin ini bukan anak papa”
“Iya aku tahu sayang. Itu gampang. Kita cari saja ayahnya. Janin ini ntar kita beli. Lalu kita buat perjanjian dengannya bahwa ia tak boleh mengakui ini anaknya untuk selamanya. Kita beli lima ratus juta. Bagaimana ma ? ”
“Tapi pa …”
“Tapi kenapa ma… Ini rejeki namanya. Sudah enam tahun kita menikah, tapi tetap saja tidak dikarunia anak”
“Tapi pa… Mama tidak tahu siapa ayahnya”
“Sudahlah ma. Kita cari saja ayah dari anak ini. Toh nanti juga ketemu. Bagi papa tak ada yang tak mungkin”
Neng Niska keheranan dengan tanggapan suaminya itu. Benar-benar tak sama seperti apa yang ia pikirkan sebelumnya. Dengan lirih, diucapkanlah selamat tinggal pada obat nyamuk itu.
* * *
Kabar itu segera menyebar, bagai sebuah sayembara. Semua orang yang terlibat dikumpulkan di rumah itu.
“Saudara-saudara sekalian. Saya suaminya Niska. Seperti yang dikatakan Niska sebelumnya. Maksud saudara saya kumpulkan disini dalam rangka mencari ayah dari si jabang bayi yang dikandung istri saya tercinta ini. Saya bermaksud membeli janin dengan harga lima ratus juta rupiah pada saudara yang terbukti sebagai ayah janin ini. Dengan catatan saudara tidak boleh mengakui anak untuk selamanya. Kami telah menikah selama enam tahun. Namun juga belum dikaruniai anak. Saya berharap saudara mengikhlaskan janin itu untuk menjadi anak saya baik secara formal ataupun kekeluargaan. Setujukah saudara ?”
Semua hadirin bersorak mensetujui.
“Baiklah saya akan memulainya. Tolong saudara jawab dengan jujur. Usia janin ini empat bulan. Jadi jika dihitung mundur maka proses hubungan badan ini dilakukan pada Bulan Mei. Siapa diantara saudara yang berhubungan badan dengan istri saya pada bulan Mei ?”
Semua undangan mengacungkan jarinya. Berteriak-teriak seperti ikan sedang diberi makan “Saya saya sayaaa…”. Sedangkan Neng Niska menangis melihat apa yang sedang dilakukan suaminya. Ia merasa dirinya sangat rendah. Diperlombakan untuk sebuah hal yang dirasa sangat tak pantas. Kemudian ditatapnya seluruh undangan. Ia pun merasa tidak melakukan hubungan badan sebanyak itu dalam satu bulan. Tapi siapa yang berhubungan badan di Bulan Mei. Ia benar-benar lupa.
“Wah bagaimana ini ? Semua undangan mengakui. Saya yakin sebagian dari Anda pasti ada yang berbohong. Oke. Tahap berikutnya ceritakan kapan anda mengenal istri saya ? Kapan dan berapa kali anda melakukan hubungan badan ?”, tambah lelaki itu.
Semua undangan menceritakan seluruh kejadian dengan begitu polosnya. Tanpa ditutup-tutupi sedikitpun. Atau malahan ditambah-tambahi.
“Baiklah saudara-saudara. Saya masih kesulitan mencari ayah dari si jabang bayi. Nanti setelah kelahiran anak ini saudara akan saya kumpulkan lagi untuk mengikuti tes DNA. Setujukah saudara ?”
Seluruh undangan menjawab setuju dan bergegas pamit.
Setelah undangan pergi. Suami itu memanggil Neng Niska.
“Istriku, diantara keenambelas orang itu masih adakah yang belum datang?”.
“Ada pa…”
“Siapa ?”
“Pak Giman”
“Pak Giman ? Panggil dia kemari”
Pak Giman segera dipanggil. Seluruh badannya menggigil ketakutan.
“Pak Giman. Kenapa Bapak tidak mengikuti sayembara ini ? Bukankah bapak juga terlibat ?”
“Maafkan saya pak. Dulu saya khilaf. Saya sungguh tidak sengaja.”
“Kenapa kamu takut Pak ? Di sini saya hanya mencari kebenaran bukan mencari pertanggungjawaban”
“Ampun pak. Saya tak pantas”
“Apa Pak Giman tak menginginkan hadiah sayembara ini ?”
“Sekali lagi ampun Pak. Saya tak pantas mendapatkan uang itu. Saya telah berlaku jahat pada bapak. Saya telah mengkhianati bapak. Bagaimana saya bisa menerima uang bapak ?”
“Bukan begitu Pak Giman. Saya hanya mencari kebenaran saja. Siapa ayahnya dan akan saya beli janin ini. Seperti yang bapak ketahui. Keluarga kami belum diberi karunia anak selama ini. Dan saya justru mengucapkan terima kasih karenanya sehingga istri saya bisa hamil. Berarti terbukti saya lah yang mandul”
“Tidak bisa pak. Sungguh tidak bisa. Saya tidak bisa menerima air susu atas air toba yang saya tuangkan di kehidupan bapak. Saya benar-benar menyesal telah mengkhianati bapak. Mohon ampuni saya pak”
“Pak Giman mesti bertanggung jawab kalau begitu”
“Saya siap untuk menerima hukuman apapun dari bapak. Dipecat atau dibunuh sekalipun saya mau pak”
“Apa untungnya membunuh bapak ?”
“Bukan begitu pak. Apapun resiko yang mesti saya pikul akan saya tanggung pak. Mohon kebijaksanaannya”
“Berarti seandainya bapak saya tuduh sebagai ayah dari anak ini bapak mau?”
“Kalau memang itu resikonya. Saya tentu mau. Merawat dan membesarkan seumur hidup pun saya mau”
“Beneran pak, bapak mau mengakuinya”
“Benar Pak”
“Kalau begitu saya anggap bapak sebagai ayah si janin. Ini uang lima ratus juta buat bapak”
“Tidak pak. Saya tidak sanggup menerima uang itu. Saya hanyalah seorang pendosa”
“Bukan begitu Pak Giman. Bawa uang ini dan janin anak itu. Urus dan besarkan dia dengan baik”
“Tapi pak bagaimana saya membawanya. Sementara si janin masih di dalam perut ?”
“Bawa dengan istri saya”
“Maksudnya pak ?”
“Bawa istri saya pergi dari rumah ini. Nikahi dia”
“Tapi pak …”
“Tidak ada tapi-tapian. Bapak tolonglah saya. Saya merasa telah mendholimi istri saya selama ini. Disamping saya tidak bisa memenuhi kebutuhan biologis secara normal. Saya juga tidak mampu menghadirkan seorang buah hati. Saya mandul pak. Tidak mungkin saya melanjutkan bangunan rumah tangga ini, karena akan menambah penderitaan bukan kebahagiaan. Saya melihat di antara tujuh belas pelaku. Hanya bapak yang bisa saya andalkan untuk menjaga istri saya nanti. Bapak begitu tulus. Nikahi ia pak. Tolonglah saya. Anggap ini hukuman dari saya”
Neng Siska menangis menyaksikan pernyataan suaminya itu. Sementara Pak Giman bersujud memohon ampun kepada-Nya.
* * *
Seminggu kemudiaan ketujuhbelas pelaku ditangkap polisi dengan barang bukti sebuah rekaman audio. Dan Neng Niskapun benar-benar menenggak obat nyamuk itu.


Artikel Terkait: