CURHAT

 Akhir Bulan Januari ini aku sempatkan untuk bertemu dengan sobat SMP ku dulu. Di sebuah warung makan tempat kami biasa bertemu. Mungkin ini pertemuan terakhir dari rutinitas yang biasa kami lakukan setiap minggu pagi. Hari Selasa ini aku harus mengikuti praktek magang di sebuah toko sepatu di Bandung. Aku terpaksa harus meninggalkan Ririn dengan berbagai cerita asyiknya paling tidak untuk tiga bulan.

Pertemuan itu terlihat hanya sekedar bertukar unek-unek biasa. Tapi inilah yang mengikat pertemanan kami sejak SMP. Awal mulanya hanya sekedar kebiasaan curhat tentang kehidupan keluarga Ririn yang hampir cerai ketika kelas III SMP. Hingga akhirnya perpisahan itu benar-benar terjadi. Akulah orang yang selalu menasihatinya untuk tidak melakukan hal-hal di luar logika. Aku jugalah yang selalu menghiburnya dengan cerita-cerita lucu yang kadang terpaksa ku karang sendiri. Sekedar untuk menghiburnya diwaktu sedih. Warung makan ini menjadi saksinya. Hingga kami begitu akrab dengan Bu Karmin, sang pemilik warung.
Meskipun kami berpisah sekolah ketika masuk SMA. Namun interaksi rutin mingguan di warung itu bagai kesempatan yang tak terlewatkan. Disela kesibukan dari rutinitas harian, hari minggu bagai air yang menyejukkan telaga kering di gurun pasir. Ririn dibangku SMA dan aku memilih duduk dibangku SMK. Secara topik bahasan pelajaran tentunya kami berbeda jalur. Namun topik pembicaraan itu tak pernah gersang.
Dari kejauhan kulihat Ririn sudah menungguku. Meskipun ku lihat ia sedang asyik menatap laptop mininya. Aku menjadi semakin tak sabar untuk mendengar ceritanya minggu ini. Akupun berlari. Karena sudah terlambat 30 menit.
“Dari mana saja kau Sis, Jam segini kok baru nongol ?”, tanyanya agak cetus
“Iya iya sorry deh. Tadi aku mengantar adikku ikut bimbingin belajar. Biasalah, ia kan tahun ini mau UN”
“Mbok ya sms kenapa tho ?”
“Sorry deh baterai HPku empty nih. Iya iya, aku mengaku salah. Lain kali takkan kuulangi lagi deh”
“Baiklah aku maafkan. Awas kalau diulang lagi”, jawab Ririn bersamaan dengan senyum candanya.
“Bagaimana dengan si culun ?”, tanyaku mengarahkan cerita.
“Yah, seperti biasa. Masih katrok seperti aslinya. Tahu gak, masak waktu kunjungan kemarin di Blok M. Bisa-bisanya ia beli parfum. Salah beli lagi, ia beli parfum cewek. Ha ha ha”
“Berarti itu kabar baik tho ? Ia menggubris omonganmu tho ? Jadi ia sudah bener-bener ingin berubah menjadi gaul begitu ?”.
Ririn pun tersenyum.

Si Culun adalah teman satu bangku Ririn. Ia murid pindahan dari Solo. Begitu lugu dan polosnya ia. Bahkan tak ada teman yang dekat dengannya. Keculunannya itu membuatnya diasingkan teman-teman sekolahnya. Bagaimana si culun dapat bergaul. SMA Ririn terkenal dengan murid-muridnya yang supergaul. Banyak siswa yang ngobrol dengannya tapi banyak yang tak nyambungnya. Masak obrolan sepak bola yang sudah begitu umum saja, si culun tak pernah nyambung. Teman-temannya kadang menjulukinya si Jawa Purba, Homo Soloensis. Begitulah seperti pandangan kebiasaan anak-anak Jakarta terhadap anak Jawa Tengah.
Aku masih ingat wajahnya yang begitu polos waktu Ririn mengajak si culun ke rumahku. Sepintas kulihat wajahnya yang sebenarnya ganteng itu. Kulitnya putih. Rambutnya lurus dengan jidatnya agak botak tentu membuat orang tertarik untuk melihatnya. Tapi sayangnya kegantengan itu tertutupi oleh kaca mata culunnya dan tubuhnya yang kecil.
Adi Prakoso nama lengkap si culun itu. Ia menjadi teman sebangku Ririn sejak semester lalu. Gara-gara kelas Ririn dicap kepala sekolah paling gaduh. Perlakuan spesialpun diberlakukan pada kelas tersebut. Dalam satu bangku wajib ditempati dua orang yang berlainan jenis. Tujuannya untuk mengurangi kegaduhan kelas. Saat itu Ririn ingin sebangku dengan Anton si cowok macho pujaan hatinya. Lain halnya dengan Adi, Anton cowok yang tegap dan berkulit sawo matang. Nasib mujur tak memihak pada Ririn, si culun itulah yang justru menjadi teman sebangkunya. Sedangkan Anton yang punya kuasa dikelas itu dapat dengan mudah memilih pasangan tempat duduknya. Mira si primadona sekolah yang dipilihnya.
Lebih sial lagi ketika celaan “pacar si culun” menempel dalam nama Ririn. Teman-teman sekelasnya begitu tega mengolok-olok Ririn tanpa ampun. Sempat Ririn membenci Adi karena keculunannya itu dan Ririn yang tak salah apa-apa kena imbasnya begitu saja. Saking jengkelnya, tiap kali si culun mengajaknya bicara, Ririn selalu menjawabnya dengan cetus. Bahkan kadang memarahi tanpa alasan. Tak lain dan tak bukan hanya untuk menghindari keakraban. Agar dirinya terhindar dari terpaan gosip tak sedap di kelas itu. Atau mungkin yang lebih serem lagi berupa fitnah tanpa dasar.
Dua bulan semenjak Ririn dan Adi satu bangku sikap dingin Ririn terhadap Adi berubah. Ririn semakin sadar bahwa pertemanannya dengan Adi membawa rejeki tersendiri. Pasalnya meskipun Adi begitu dipandang rendah oleh kebanyakan orang namun dari segi prestasi ia sangat jago. Adi seorang yang tepat untuk diajak diskusi membahas materi pelajaran. Posisi duduk itulah yang membuat Ririn semakin hari semakin meningkat prestasi akademisnya.
Tak jarang pada waktu mendapat tugas yang berat Ririn menyempatkan diri ke rumah Adi untuk belajar kelompok. Ia sebenarnya ingin membuktikan pada teman-temannya bahwa ia tak salah mendapatkan teman Adi. Sebagai imbalannya Ririn terkadang sepulang belajar kelompok mengajak Adi berjalan-jalan ke Mall, nonton bioskop, nonton konser atau kongko-kongko ke berbagai tempat hiburan. Seiring dengan keakraban itu timbul obsesi untuk mengubah si culun menjadi segaul dirinya. Bahkan pernah suatu ketika Adi diajaknya dugem.
* * *
“Heh kenapa melamun, lanjutkan ceritanya dong”, pintaku pada Ririn
“Ya maaf. Aku agak gak konsen”. Ririn berdiam sejenak. Akupun memberi waktu untuknya berfikir dengan memesan dua gelas minuman pada Bu Karmin.
“Parfum itu kayaknya bukan karena masalah gaul deh. Tapi tepatnya karena jatuh cinta”, Ririn melanjutkan ceritanya.
“Haaaah, si culun jatuh cinta ?”
“Ya, aku pernah berbicara dengannya bahwa anak gaul itu mesti punya pacar. Sebagai bukti dirinya laku begitu. Kemarin waktu beli parfum, ia bilang kalau dirinya sedang jatuh cinta. Aku…”
“Aku kenapa Rin, kenapa tiba-tiba kamu menjadi sedih ?”
Ririn terdiam beberapa saat. Tangan kanannya menggenggam kunci kontak motornya dan meremasnya berkali-kali seraya gemas.
“Enggak kok. Aku cuma menyesal kenapa dulu aku begitu tega mengatakan bahwa tubuhnya bau. Padahal ia begitu berguna buatku”
“Tidak mungkin hanya itu. Kau pasti menyembunyikan sesuatu dariku. Hayo ngakulah Rin. Masak harus menyembunyikan sesuatu dariku”
Ririn menundukkan pandangannya. Air matanya mengalir pelan di kedua pipinya. Kuambil sapu tangan di saku kiriku dan kuusap air mata itu.
“Kenapa kamu menangis ? Sudahlah kalau gak mau cerita, gak apa-apa kok. Jangan nangis gitu lah.”
“Maafkan aku Rin karena selama ini tak berterus terang padamu. Sebenarnya…”
Suara Ririn tersendat di tengah jalan. Kupeluk tubuhnya dan kubelai rambutnya. Dalam dekapanku itu Ririn tampak berat mengucapkan sebuah kalimat
“Aku …”
“Aku takut …”
“Aku takut kehilangan si culun Sis”
Aku tersentak kaget. Kulepaskan Ririn dari pelukanku. Kutatap matanya yang basah. Ia pun menundukkan pandangan, menghindari pandanganku.
“Bagaimana bisa Rin ?”, tanyaku penuh kaget
“Aku juga tak tahu Sis. Jangan tanyakan aku. Aku tak tahu jawabannya. Jangan paksa aku memikirkan jawaban itu”
“Tapi apakah benar kau mencintainya. Aku hanya takut itu hanya ego sesaatmu Rin. Rasa suka yang bersifat sementara saja. Pikirkan lagi. Aku tahu seleramu Rin. Kriteria cowok idealmu seperti Anton kan ? Tapi bagaimana kamu bisa mencintai si culun itu ?”
“Aku juga tak tahu apa yang kusukai darinya Sis. Seandainya kutahu pasti kukatakan padamu. Aku malu mengakui ini. Karena sekian lama aku menghina si culun di hadapanmu. Sekarang ku katakan padamu sesuatu yang berbeda. Aku memang suka padanya. Pasti kamu menganggapku tidak konsisten. Tapi tak apa karena ini kenyataan”
“Mungkin ini yang dimaksud dalam lagunya DEWA itu. ‘cinta datang karena terbiasa’ itu lho Rin. Bahkan kata Papaku. Cinta yang kekal justru berawal dari cinta yang seperti ini, bukan sekedar cinta pada pandangan pertama. Aku sungguh memaklumi hal ini Rin. Percayalah. Segera mungkin kau temui ia sebelum ia menjadi milik orang lain. Ungkapkan rasa cintamu itu. Aku yakin ia akan menerimamu. Ini jamannya emansipasi guys. Perempuan tak selalu harus menunggu. Tapi bisa memulai. Ayolah…”
Aku tersenyum. Ririnpun ikut tersenyum. Ia segera memberanikan diri memandangku kembali.
“Tapi Sis, bagaimana jika ia menolakku padahal kami satu bangku ?”
“Sudahlah. Percaya padaku Rin, pasti ia akan menerimamu. Tak ada alasan untuk menolakmu”
“Terima kasih Sis”
Kami pun berpelukan.
“Rin seperti smsku kemarin. Mungkin ini pertemuan kita terakhir. Paling tidak untuk tiga bulan ke depan. Jadikanlah Adi sebagai penggantiku. Orang yang setia mendengarkan curhatmu. Bahkan tiap hari kalau perlu. Aku tak ingin mendengar kabar si culun by phone. Aku ingin sebuah kejutan. Kuingin mendengarkannya tiga bulan ke depan di tempat sakral bagi kita ini.”
Ririn menganggukkan kepalanya sebagai isyarat mengiyakan.
Hujan dari langit turun perlahan-lahan. Gerimis tak diundang itu memaksa pembicaraan kami berakhir. Kami segera berboncengan meninggalkan Bu Karmin dengan warung sotonya.
Tiga bulan berlalu. Aku datang di warung soto itu lebih awal untuk mendengar kisah teman sejatiku itu. Kulihat Bu Karmin telah berubah. Rambut ikalnya yang panjang telah dipotongnya setinggi bahu. Ia tak membutuhkan penjepit rambut lagi untuk merapikan rambutnya ketika berjualan. Warung makan itupun terlihat sedikit perubahan. Cat tembok hijau yang sudah tampak lusuh itu berganti warna biru dengan sebuah bungkus rokok tergambar di dindingnya. Kayaknya perusahaan rokok itulah yang membiayai pengecatan dan penambahan beberapa bangku dan meja di warung makan itu.
Ku sapa Bu Karmin. Kucium tangannya sebagai obat pelepas kangen. Dan Bu Karmin pun menyambutnya dengan hangat. Aku tak lupa memesan es campur sembari menunggu kedatangan Ririn. Jam ditanganku menunjukkan pukul 09.55. Kami sepakat bertemu pukul 10.00. Dan kurang dari 5 menit lagi Ririn pasti datang. Ia tak pernah terlambat. Bahkan tak jarang pukul 09.30, ia sudah sampai di warung makan itu.
Sejenak aku membayangkan bagaimana nasib Ririn dan si culun sekarang. Aku tak sabar mendengar kelanjutan cerita yang tertunda itu. Bahkan aku sengaja datang lebih pagi agar tak membuat Ririn kecewa seperti tiga bulan yang lalu. Kesan pertama aku harus terlihat sempurna. Tiba-tiba sepasang telapak tangan menutup kedua mataku dari arah belakang. Ia diam. Sampai aku menyebut nama si penutup mata tersebut. “Rin, jangan main-main ah. Kita ini sudah besar tau”
“Bha…..”, sapa Ririn cekikikan
Kami pun berpelukan melepas kangen dan saling mencium pipi.
“Pesan apa saja sana. Nanti aku yang traktir”, perintahku pada Ririn
“Siiip…Buk, aku pesan soto sama es jeruk satu ya”
“Beres bos”, jawab Bu Karmin
Kamipun berbincang tentang petualangan selama tiga bulan yang belum sempat kami ceritakan. Hingga aku pun mulai memfokuskan pembicaraan pada si culun.
“Bagaimana si culun Rin ?”
Ririn hanya tersenyum
“Lho kok hanya senyum. Kau ingin aku menerkanya ?”
“Ia sekarang sudah bahagia kok Sis”
“Maksudmu ? Kalian jadian ya?”
Ririn menggelengkan kepala
“Terus ?”
“Sekarang si culun pacarnya Mira”
“Hah Mira ? Beneran nih. Jadi yang ditaksir si culun itu si Mira ? Tinggi juga seleranya”
“Nggak juga kok”
“Lalu ?”
“Sebenarnya yang ia taksir itu aku ?”
“Lhoh kok bisa jadian sama Mira ? Aneh”
“Gak aneh kok”
“Sudahlah Rin. Jangan berbelit-belit begitu dong. Jangan bikin aku penasaran lagi. Ayolah ceritakan pada intinya saja”
“Oke oke. Begini Sis. Semenjak kepergianmu itu si culun berubah menjadi gaul. Atau lebih tepatnya memaksa gaul. Ia sering main dan jarang lagi ke perpus. Tiba-tiba aku ilfil dengannya. Entah kenapa aku tiba-tiba menjadi ilfil. Aku pikirkan lagi. Setelah lama kurasakan dan kupikirkan ternyata yang kusuka dari ia itu justru keculunannya itu. Mungkin aku trauma dengan Ayahku yang main serong dan kini meninggalkan ibuku itu. Jadi hatiku justru simpati pada cowok yang culun”
“Tapi kamulah yang merubah keculunan itu tho ?”
“Iya sih, aku menyesal Sis. Sekarang si culun menjadi gaul bahkan super gaul. Ia sekarang ikut rombongan si Berry gang motor di SMAku itu. Aku merasa berdosa telah menjerumuskannya Sis. Sebulan setelah kau pergi aku ditembaknya. Ya terang saja aku menolaknya. Rasa sukaku seketika berubah menjadi rasa jijik yang dahsyat”
“Lha kalian masih satu bangku tho ? Terus bagaimana ?”
“Pokoknya ribet deh ?”
“Kenapa ?”
“Uh, begini ceritanya, pada saat yang sama Anton terlibat kasus karena memperkosa anak SMP 3. Bahkan kasus itu sempat diseret ke kepolisian. Keluarga Anton menawarkan damai dengan menyuap si korban sebesar setengah milyard. Ya terang aja, bapak si anak SMP yang miskin itu tergiur dengan uang sebesar itu. Tertutupilah kasus itu. Anton bebas dari tuntutan tanpa harus sampai pada kejaksaan. Tapi sayangnya berita itu sempat tersebar di sekolah. Keluarga Antonpun segera melayangkan uang tutup mulut pada pihak sekolah. Biasalah, orang kaya sedikit-sedikit uang. Semua bisa dibeli”
“Terus apa kaitannya dengan si culun ?”
“Ada dong. Mira gak mau lagi duduk sebangku dengan Anton. Ia takut dengan Anton. Bahkan cewek-cewek satu sekolah pun juga takut”
“Lalu ?”
Sejenak Ririn meneteskan air matanya kembali. Ia menundukkan pandangan. Suaranya mulai serak dan ia tak mampu menjawab pertanyaanku lagi. Yang ada hanya isak tangis belaka. Ku ambil sapu tangan dari saku kiriku dan kuusapkan ke pipinya sama persis tiga bulan yang lalu. Kemudian aku memeluknya dan bertanya “Mengapa kau menangis ?”
Ririnpun terdiam. Aku menunggu jawabannya sampai ia benar-benar tenang kembali. Imajinasiku melayang ke mana-mana.
Ririn dengan suara masih serak berusaha menjawab.
“Orang yang ku cintai menukar tempat dudukku. Adi menukarkan aku dengan Mira”
“Ya ampun”
“Begitu teganya ia mengkhianatiku. Tega-teganya ia menukarku dengan Mira. Aku tahu ia begitu membenciku karena aku menolak cintanya. Mungkin ia dendam padaku. Aku tahu itu. Tapi kenapa …”
“Sudahlah Rin. Tabahkan hatimu “
“Aku tak percaya Sis. Setelah sebulan mereka duduk sebangku. Mereka jadian. Mereka begitu terlihat romantis di kelas. Membuatku iri dan muak. Sementara aku. Aku di belakang mereka duduk satu bangku dengan mantan pemerkosa itu. Hick..hick…hick..”


Artikel Terkait: