Perahu Kaleng Othok-othok

RATAPAN KITA TERHADAP MAINAN JADUL.

Ada yang baru dari perahu othok-othok yang berbahan kaleng itu. Sekarang ada versi berlayar. Saya menemukannya di pasar malam dugder(an) Semarang kemarin. Harga tanpa negosiasi Rp 10.000 per buah. Untuk yang tanpa layar versi kecil Rp 5.000 per buah. Penjualnya orang Cirebon, datang ke Semarang setahun sekali setiap dugder(an) menjelang Ramadan.
Jika kita bicara mainan lama, maka yang merambati diri kita adalah nostalgia dan eksotisisme. Nostalgia itu soal pengalaman masa lalu — kalau mengalami. Eksotisisme itu perkara cita rasa: kerinduan terhadap sesuatu yang langka, agak menyalahi zaman, dan dalam kasus kapal eh… perahu kaleng adalah tidak canggih.
Lantas apa masalahnya? Urusan menjadi konyol jika kita selalu memutar lagu yang sama dengan lirik, “Sayang ya anak sekarang nggak kenal gitu lagi. Padahal mainan lawas itu blablablabla… Sayaaanggggg…. banget.”
Lagu akan disusul bagian kedua jika ditambahi, “Coba lihat mainan dari kulit jeruk bali. Mana ada? Dulu itu anak diajari kreatif, anu, anu, anu…”
Stop. Cukup. Tak selesai soal jika semuanya hanya menjadi keluhan, ratapan. Tapi kalau bisanya hanya itu ya apa boleh buat, lantas suatu kali kalau muncul pustaka asing yang memuat mainan lawas kita hanya merenges, lalu sibuk mencari alasan kenapa tak mau mendokumentasikannya. Paling klise adalah “nggak sempat”, dan lebih parah lagi “nggak kepikir”.
Maka sebaiknya perbincangan kita belokkan ke wilayah lain. Mainan hanya bertahan jika masih fungsional, misalnya menarik dan menyenangkan, pun mendatangkan kegembiraan bersama teman.
Itu sebabnya mobil-mobilan dan boneka terus bertahan, sebagian dengan berganti bahan dan rupa. Mobil plastik menggantikan mobil kaleng. Action figures, yang merupakan brands, menggantikan wayang dari atom tanpa jenama.
Pengertian “dimainkan bersama teman” sudah bertambah arti. Selain bersua dalam komunitas (tidak harus dalam pertetanggaan) juga dipamerkan, dipertukarkan, dan bahkan diperjualbelikan di internet. Oh ya, untuk Indonesia komunitasnya pun berbasis internet; dari milis, forum, situs khusus, sampai Facebook.
Ketika sebuah mainan lama hanya menjadi klangenan, sesungguhnya dia sudah tak murni fungsional lagi. Dia tak lebih sebagai collector’s item yang bisa meningkat menjadi komoditas “kolekdol”. Gampangannya: bapaknya menjadikannya sebagai hiasan dan koleksi (bahkan dagangan), tetapi anaknya emoh memainkannya — bahkan dilarang.
Soal lain adalah standar industri mainan yang ramah konsumen modern. Amankah perahu othok-othok yang logamnya runcing? Mudahkah sampahnya didaur ulang? Juga, amankah bahan catnya bagi anak kecil (maupun orang dewasa)?
Marilah kita mengumandangkan paduan suara: “Dulu zaman kita nggak ada anak mati gara-gara kapal kaleng — kecuali selagi main kejatuhan atap runtuh.”
Saya contohkan standar industri sebagai penyodoran ekstremitas. Sesungguhnya kita tak pernah berpikir sejauh itu. Kita, terutama orang dewasa, lebih sering terjebak dalam kecanggungan. Termasuk saya.
Saya sebut canggung karena saya pun tak banyak memperkenalkan mainan lawas dan mainan “tradisional” kepada anak saya. Kalau pun pernah mencoba, dan gagal, saya tak meratapi lalu menyalahkan industri mainan modern (terutama RRC), apalagi menyalahkan internet.
Kalau anak-anak tak tertarik, lagi pula untuk mainan tertentu memang tak ada lahannya (misalnya sepak sekong dan benthik), masa sih mereka saya paksa?


Artikel Terkait: