Masyarakat tradisional Jawa sangat mengenal dan menghormati Walisongo, yaitu Sembilan Wali, ahli agama yang pertama kali memperkenalkan dan menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa. Pada waktu itu penduduk Jawa masih sedikit, tanah yang dipergunakan untuk berkebun dan bersawah juga masih sedikit, sebagian besar masih berupa hutan.
Kondisi alam yang subur dan iklim tropis yang nyaman telah mengantar tumbuhnya kehidupan masyarakat yang tertata dan berbudaya. Sudah lama berkembang bentuk pemerintahan kerajaan lengkap dengan birokrasinya yang menggerakkan jalannya tata praja yang diduduki oleh orang-orang Jawa sendiri.
Bentuk pemerintahan kerajaan adalah pengaruh dari budaya Hindu, sebelumnya pemerintahan asli berbentuk Kabuyutan yang dipimpin oleh Ki Buyut ( Orang tua bijak yang jadi panutan). Orang-orang zaman dulu selain telah mengenal pertanian dengan sistim irigasi, juga mengenal pelayaran yang cukup maju pada masanya. Nenek moyang bangsa juga menjadi pelaut yang handal seperti yang dikumandang lagu : “Nenek moyangku orang pelaut”. Pertanian dan pelayaran berkembang karena sejak zaman kuno , pinisepuh negeri ini telah mengenal Ilmu Bintang, jadi sangat memahami musim, cuaca, aliran angin dsb. Sehingga diketahui dengan akurat ,kapan saat tanam dan melaut.
Seperti diketahui sebelum kedatangan pengaruh budaya dari luar ( dan yang pertama adalah pengaruh Hindu), penduduk Jawa telah mengenal dan menguasai: Sistim sawah dengan irigasi, Astronomi, Pelayaran, Wayang, Gamelan, Tembang, Batik, Pembuatan seni logam, Sistim mata uang, Sistim pemerintahan. Tenun untuk membuat pakaian juga telah dikenal. Kehidupan kota dan desa telah berjalan, perdagangan , seni, budaya maju, upacara-upacara ritual dilaksanakan secara teratur. Kebatinan, spiritualitas berdasarkan panembah/ penyembahan kepada Gusti, Penguasa Jagat Raya telah dipraktekkan.
Orang Jawa yang merdiko – bebas dan bergotong royong dalam menjalani kehidupan bermasyarakat, telah sejak zaman kuno menjalankan kehidupan berdasarkan Paugeraning Urip- aturan-aturan baku kehidupan berlandaskan budi pekerti, tata krama dan tata susila dan hormat kepada orang tua dan para pinisepuh, baik yang masih hidup maupun yang sudah berpulang ke asal mula/ meninggal dunia.
Menyimak pemaparan singkat diatas dan adanya peninggalan-peninggalan kuno berupa benda-benda arkeologis,bangunan, prasasti , naskah kuno, tak pelak lagi penduduk Jawa telah sejak masa kuno mempunyai hubungan dengan penduduk dari negeri dan benua lain. Hubungan dengan manca negara dan budaya lain berpengaruh kepada budaya setempat.Hal ini positif karena memperkaya kehidupan dan memperluas wawasan budaya masyarakat.
Pesisir Utara Jawa
Sesuai data sejarah, sejak abad ke 13, agama Islam telah mulai ada disekitar kota-kota pelabuhan di sepanjang pesisir utara Pulau Jawa, juga di Majapahit,negara yang berbasiskan pertanian yang kuat dan juga negara maritim yang merajut hubungan dagang internasiona yang luas.
Penganut agama Islam selain para pedagang pendatang, juga penduduk pesisir Jawa. Kemudian beberapa priyayi termasuk bangsawan Majapahit memeluk agama Islam, terutama tertarik kepada Tasawuf dan Ilmu Makrifat.
Keberadaan dan perkembangan Islam dipesisir utara Jawa selama dua abad berlangsung damai. Orang-orang Islam di Jawa juga mengagumi budaya karaton-karaton Jawa yang indah. Bangunan-bangunan masjid seperti di Demak, Kudus dan nantinya di pedalaman berarsitektur Jawa.
Budaya Jawa tetap eksis
Dalam sebuah seminar mengenai “ Pengaruh Islam terhadap budaya Jawa dan sebaliknya” yang diadakan oleh Perpustakaan Nasional R.I di Jakarta pada 31 Oktober 2000, para pakar sejarah Indonesia seperti Prof.DR. Simuh, Prof.DR. Djoko Suryo, Prof.DR.H. Ardani, Prof.DR. Sartono Kartodirdjo dll, mempunyai pendapat yang sama bahwasanya sebelum datangnya pengaruh luar, orang Jawa pada zaman kuno telah mempunyai kepercayaan dan budaya sendiri. Dalam perkembangannya , Hindu, Buddha, Islam tidak pernah meninggalkan budaya Jawa dan terjadi saling pengaruh budaya. Kristen, Katholik, Konghucu juga bersikap demikian. (SKM. Buana Minggu, edisi November 2000). Dalam hal ini peranan Walisongo sangat besar.
Susunan Walisongo
Sesuai dengan namanya Walisongo, jumlah wali penyebar agama Islam di Pulau Jawa dipermulaan abad ke 15 ada 9/Sembilan, yaitu :
- Sunan Gresik ( Syekh Maulana Malik Ibrahim)
- Sunan Ampel ( Raden Rahmat)
- Sunan Giri (Raden Paku)
- Sunan Bonang ( Raden Makdum Ibrahim)
- Sunan Drajat (Syekh Syarifudin)
- Sunan Kudus ( Syekh Ja’far Shadiq)
- Sunan Muria ( Raden Umar Said)
- Sunan Gunung Jati (Sayid Syarif Hidayatullah)
- Sunan Kalijaga ( Raden Mahmud Syahid)
Sunan Gresik
Syekh Maulana Malik Ibrahim adalah Wali tertua diantara Walisongo. Beliau menyiarkan agama Islam di daerah Jawa Timur, khususnya Gresik, sehingga dikenal sebagai Sunan Gresik.
Menurut beberapa sumber yang dapat dipercaya, diantaranya dari Encyclopedie Van Nederland Indie bahwa Syekh Maulana Malik Ibrahim adalah keturunan ke 17 dari Rasulullah SAW ,dari jalur Siti Fatimah, putri Rasulullah SAW yang istri Sayidina Ali bin Abi Thalib.
Sunan Ampel
Sunan Ampel atau Raden Rahmat adalah putra seorang penyebar agama Islam yang terkenal Ibrahim Asmaraqandi yang menyiarkan agama Islam di Campa/Kamboja, atas perintah ayahnya Syekh Jamaluddin Jumadil Qubra.
Ibrahim Asmaraqandi berhasil mengajak raja Campa masuk Islam dan beliau menikah dengan putri Raja Campa yang bernama Candrawulan dan mempunyai putra Sayid Ali Rahmatullah , kemudian dikenal sebagai Sunan Ampel.
Salah satu adik dari Candrawulan ( ibunya Sunan Ampel) yaitu Dewi Anarawati atau Dwarawati , dijadikan istri oleh Raja Brawijaya dari Majapahit. Dwarawati menjadi permaisuri, istri resmi tunggal, istri-istri yang lain diceraikan atau diberikan kepada para Adipati untuk dijadikan istri mereka. Menurut cerita , Dewi Dwarawati tidak mau dimadu. Raja Brawijaya pungkasan/ terakhir masuk Islam.
Salah satu istri yang dicerai oleh Brawijaya adalah Dewi Kian , seorang putri Cina, yang di-anugerahkan kepada Adipati Palembang yaitu Aryo Damar. Karena waktu itu Dewi Kian tengah hamil tua, dia tidak boleh digauli sebelum anaknya lahir.
Kemudian lahir seorang putra yang bernama Raden Patah yang menjadi anak didik Sunan Ampel dan kelak menjadi Raja Demak. Pada saat keruntuhan kerajaan Majapahit.
Sunan Giri
Sunan Giri atau Raden Paku atau Ainul Yakin adalah putra seorang ulama keturunan Arab yang bermukim di Samudra Pasai, Aceh yang bernama Syekh Maulana Ishak. Silsilah beliau dari Sayyidatina Fatimah binti Rasulullah, istri Ali bin Abi Thalib.
Dari pihak ibundanya yang bernama Dewi Sekardadu, Sunan Giri adalah seorang cucu Raja Blambangan yang beragama Hindu yaitu Prabu Minak Sembayu. Prabu Minak Sembayu bertahta di Blambangan menggantikan Wirabumi atau Minak Jinggo, salah satu putra Hayam Wuruk, raja Majapahit. Sunan Giri merupakan saudara sepupu Sunan Ampel, dari kakek mereka Syekh Jamaluddin Jumadil Qubra.
Sunan Bonang
Sunan Bonang adalah putra keempat Sunan Ampel, dari perkawinan Sunan Ampel dengan Dewi Candrawati binti Brawijaya Kerthabumi. Jadi Sunan Bonang yang punya nama kecil Raden Makdum Ibrahim adalah cucu Brawijaya.
Lalu kenapa namanya sebagai Wali dikenal sebagai Sunan Bonang? Karena beliau waktu berdakwah di daerah Tuban menggunakan alat gamelan yaitu Bonang. Penduduk sangat menggemari dakwah yang dibarengi dengan gamelan bonang. Apalagi yang menabuh bonang dengan mahir adalah seorang Waliyullah, penduduk datang berbondong-bondong. Dalam khotbahnya Sunan Bonang melantunkan tembang-tembang yang berisikan pokok-pokok ajaran Islam yang amat disenangi penduduk.
Murid Sunan Bonang amat banyak dan tersebar di Tuban, Jepara , Bawean dan Madura. Beliau terkenal sebagai ulama besar yang berilmu tinggi, sifatnya sangat sabar dan santun terhadap sesama manusia meskipun berbeda agama.
Sunan Drajat
Nama kecil Sunan Drajat adalah Syarifuddin, putra ketiga dari Sunan Ampel, Ibunya seorang putri Tuban yaitu Dewi Candrawati atau Nyi Ageng Manila. Sunan Drajat hidup dimasa keruntuhan Kerajaan Majapahit sekitar tahun Saka 1400 atau Masehi 1478. Beliau termasuk seorang Wali yang berperan aktif membantu berdirinya Kerajaan Demak.
Sunan Drajat berwatak luhur. Seperti juga ayahnya beliau percaya bahwa jika orang telah memiliki ilmu (agama) yang banyak, niscaya mendapatkan kemuliaan dunia dan akhirat. Didunia mendapatkan penghormatan dari sesama manusia dan Allah akan mengangkat derajatnya diakhirat.
Sunan Kudus
Sunan Kudus yang bernama asli Ja’far Sadiq adalah putra Raden Usman Haji dari Jipang Panolan, dekat Blora, Jawa Tengah yang masih keturunan bangsawan. Ilmunya tinggi sehingga disebut oleh penduduk Jipang Panolan sebagai ulama besar dan terkenal juga dengan sebutannya Sunan Ngudung.
Sejak muda ,Ja’far Sadiq senang mengembara ke pelbagai pelosok daerah. Mencari ilmu, menambah pengalaman hidup dan mencari rezeki. Ini sesuai dengan ajaran ayahnya yang menganjurkan supaya umat Islam selalu bekerja keras mencari nafkah dan kalau perlu menjelajah ke seluruh pelosok jagad raya untuk mengenal kebesaran Allah SWT.
Beliau juga terkenal berjiwa sosial, sering membantu orang kecil, hatinya senang bila melihat orang kecil bersuka hati.
Selain belajar agama dari ayahnya, Ja’far Sadiq pernah menimba ilmu kepada seorang ulama dari Tiongkok yang bernama Kyai Telingsing yang bermukim antara sungai Tanggulangin dan sungai Juwana. Kyai Telingsing yang arif, melihat bahwa kelak Ja’far Sadiq akan menjadi orang besar.
Sunan Muria
Sunan Muria yang nama aslinya Raden Said atau Raden Prawata berdakwah disekitar Gunung Muria, disebelah utara Kota Kudus.
Beliau adalah putra Sunan Kalijaga, ibunya adalah Dewi Sujinah yang kakak kandung Sunan Kudus. Sunan Muria mempunyai hubungan yang akrab dengan para wali yang lain. Menurut berbagai sumber, Sunan Muria lahir disekitar pertengahan abad ke 15.
Sunan Gunung Jati
Sunan Gunung Jati adalah sebutan untuk Fatahillah atau Falatehan menurut sebutan Portugis. Nama aslinya adalah Syarif Hidayatullah. Sejarah mencatat namanya adalah : Syekh Nuruddin Ibrahim Ibnu Maulana Ismail, Syarif Hidayatullah, Said Kamil, Maulana Syekh Makhdum Rahmatullah.
Beliau disebut seorang sayyid artinya masih keturunan anak cucu Rasulullah SAW.Diperkirakan lahir di Pasai, Aceh pada akhir abad ke 15 atau permulaan abad ke 16. Ayahandanya adalah Maulana Sultan Mahmud alias Syarif Abdullah yang masih keturunan Bani Ismailiyah. Ibunya ,adalah Ratu Mas Rarasantang, putri dari Raden Pamanarasa, Raja Pajajaran.
Pada masa kecilnya belajar kepada ayahnya sendiri. Setelah menginjak dewasa berusaha mendalami ilmu dan agama. Ilmu bisa membuat manusia sejahtera hidupnya, sedangkan agama menuntun agar tetap melangkah dijalan lurus.
Ilmu dan agama harus berjalan seimbang. Menyadari hal tersebut sepenuhnya ,Syarif Hidayatullah berangkat untuk belajar di Mekah.
Selama dua tahun berguru kepada ulama-ulama terkemuka antara lain Syeikh Tajmuddin Al-Kubra dan Syeikh Athaillah Syadzali. Kemudian melanjutkan mendalami Tasawuf di Baghdad.
Syarif Hidayatullah menjadi seorang pemuda yang menguasai berbagai bidang, pandai bicara, ahli pantun, seni sastra sehingga mampu menarik perhatian orang banyak.
Dengan menumpang kapal dagang yang biasa mengunjungi negerinya, Syarif Hidayatullah pulang untuk mengajarkan ilmunya.
Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga , nama kecilnya Raden Syahid adalah putra Bupati Tuban, Tumenggung Wilatikta. Ibunya bernama Dewi Nawangrum.
Disebut Sunan Kalijaga karena sering bertirakat dikali untuk membersihkan jiwanya dan dalam keheningan memohon petunjuk Gusti Allah supaya mendapatkan tuntunan yang baik dan benar, baik untuk diri sendiri maupun bagi umat. Kalijaga artinya penjaga kali; kali dalam hal ini berarti aliran, jadi Sunan Kalijaga adalah seorang wali yang menjaga semua aliran atau kepercayaan yang hidup di masyarakat. Beliau memang seorang wali yang kondang dan amat dihormati oleh para raja, bangsawan karaton maupun penduduk Jawa tradisional. Selain wali, Sunan Kalijaga adalah juga seniman dan budayawan yang besar jasanya dalam melestarikan tradisi dan budaya Jawa.
Dari perkawinannya dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishak , berputra tiga yaitu:
- Raden Umar Said (Sunan Muria)
- Dewi Ruqayah
- Dewi Sofiyah.
- Kanjeng Ratu Pembayun, yang menjadi istri Sultan Trenggono, raja Demak.
- Nyai Ageng Panenggak yang menikah dengan Kyai Ageng Pakar.
- Sunan Hadi yang meneruskan kedudukan ayahnya menjadi Kepala Perdikan Kadilangu.
- Raden Abdurrahman.
- Nyai Ageng Ngerang.
Dalam menjalankan misinya menyebarkan Islam, budaya Jawa tetap hidup. Orang Jawa mulai menyebut Gusti Allah. Mantra-mantra warisan leluhur tetap dipertahankan. Sejak masa Sunan Kalijaga pengucapan sebuah mantra dimulai dengan ucapan : Bismillahirrohmanirrohim dan ditutup dengan kata-kata : Kersaning Allah – Atas kehendak Allah.
Sunan Kalijaga berilmu tinggi, luas sekali pengetahuannya, terkenal amat bijak. Dalam menjalankan misinya menyiarkan Islam tidak pernah menyinggung dan menyakiti pihak lain, beliau sangat luwes dan memegang tata krama dalam pergaulan . Beliau dikenal wali yang sakti, mempunyai ilmu mu’jizad yang mengagumkan, namun begitu tetap rendah hati. Itulah sebabnya Sunan Kalijaga sangat dihormati semua lapisan masyarakat.
Selain itu beliau juga pujangga yang handal dengan tembang-tembang ciptaannya yang terkenal sampai hari ini dan sering dikidungkan baik oleh orang kota maupun desa.
Diantara murid Sunan Kalijaga yang terkenal antara lain adalah Sunan Tembayat dan Sunan Geseng yang menjadi salah satu pemomong Sultan Agung dari Mataram. Sunan Kalijaga telah lama meramal bahwa Kerajaan Mataram akan menjadi kerajaan besar dan penting di Nusantara.
Selain Walisongo yang terkenal, setidaknya ada lagi dua orang Wali yang juga terkenal pada masa itu, tetapi tidak termasuk kelompok Sembilan Wali, yaitu : Syekh Siti Jenar dan Sunan Panggung.
.
TheKiFOT mengucapkan terimakasih kepada :Komunitas Ma’rifat dari Metafisika Study Club, pimpinan Bapak Sabdono sebagai narasumber riwayat hidup Walisongo.